Inner Child: Dia Tak Pernah Mati, Hanya Tersembunyi dalam Tubuh Kita




“Kamu tuh emang selalu gitu, ya. Gak pernah dewasa. Percuma deh ngomong sama kamu.”

Pasti kita sudah tak asing lagi ya dengan kalimat-kalimat tersebut.
Barangkali kita pernah mengucapkannya, sempat mendengar orang lain mengucapkannya, atau bahkan diucapkan orang lain kepada kita. Sikap childish yang ada pada diri seseorang sering kali membuat orang lain kesal. Apakah sikap dewasa sejatinya benar-benar ada?

Faktanya, semua orang pasti memiliki sisi kekanak-kanakan, hanya kadarnya saja yang berbeda satu sama lain. Hal tersebut disebabkan oleh inner child yang ada pada diri kita masing-masing.


Apa Itu Inner Child?

Belum banyak orang yang memahami istilah ini. Namun inner child memang terbukti ada pada diri setiap orang. Inner child dapat didefinisikan sebagai jiwa anak-anak yang terbentuk sejak seseorang masih kecil. Setiap pengalaman yang dialami seorang anak akan berperan penting membentuk karakternya secara keseluruhan. Karena watak seseorang ditentukan oleh 80% pengaruh lingkungan sekitar dan 20% dari genetik orang tua.

Inner child bisa berupa karakter positif atau negatif. Kendati demikian, pada umumnya orang menggambarkan inner child sebagai masalah di masa kecil yang mempengaruhi sikap seseorang di masa kini dan masa mendatang.


Contoh Nyata Pengaruh Inner Child dalam Diri Seseorang

Sebenarnya kita pasti sering berurusan dengan inner child pada diri sendiri maupun diri orang lain. Misalnya:

Kasus Pertama
Ada seorang anak perempuan yang dibesarkan dengan kekerasan oleh ayahnya. Berbagai perlakuan tak menyenangkan seperti kekerasan fisik, kekerasan verbal, dan pelecehan seksual sudah akrab dengan anak tersebut. Pengalaman masa kecil itulah yang membekas sebagai inner child dan mempengaruhi pembentukan karakternya. Anak perempuan itu bisa tumbuh sebagai perempuan dewasa yang membenci kaum lelaki atau justru menjadi perempuan yang senang mempermainkan lelaki. Karakter tersebut terbentuk sebagai pelampiasan yang tak mampu dilakukan semasa kecil.
 
Kasus Kedua
Sebuah keluarga harmonis terbiasa mengutamakan sistem musyawarah bagi seluruh anggota keluarganya. Anak-anak yang masih kecil pun diajak berunding dan belajar membuat keputusan. Musyawarah tersebut bisa diterapkan pada hal-hal sederhana seperti menentukan destinasi liburan dan memberi sanksi kepada salah seorang yang melanggar aturan keluarga. Kebiasaan baik ini akan mendukung pertumbuhan karakter anak-anak di keluarga tersebut. Kemungkinan besar anak-anak keluarga itu akan tumbuh menjadi sosok yang penuh empati, adil, peduli terhadap sesama, dan menjunjung tinggi kepentingan banyak orang.

Kasus Ketiga
Di dunia ini memang tak ada yang bisa 100% adil, termasuk perlakuan orang tua kepada anak-anaknya. Saat memiliki lebih dari satu buah hati, berlaku adil jadi semakin sulit. Celakanya, tak sedikit orang tua yang mengistimewakan satu atau dua orang anaknya. Sehingga anak yang lain merasa kekurangan kasih sayang atau merasa tidak sehebat saudara kandungnya. Perlakuan tersebut bisa mempengaruhi inner child sang anak hingga beranjak dewasa nanti.
Hasilnya, anak yang merasa tak istimewa tersebut ingin selalu menjadi nomor satu. Menggunakan segala cara untuk menjadi yang terbaik. Namun bisa juga sebaliknya, menjadi pribadi yang apatis, pesimis, dan selalu berpikir bahwa dirinya memang diciptakan sebagai “si nomor dua”.

Tak Pernah Mati, Hanya Tersembunyi

Inner child yang ada pada diri seseorang memang tak pernah mati, hanya tersembunyi sedemikian rupa di balik tubuh orang dewasa. Setiap orang pada usia yang sama memiliki tingkat kedewasaan yang berbeda. Bahkan tak sedikit orang yang karakternya jauh lebih dewasa dibandingkan usianya. 

Kadar kedewasaan seseorang terbentuk oleh berbagai faktor, yaitu pelajaran hidup yang pernah diterima, kemampuan diri sendiri dalam menghadapi masalah, dan tuntutan lingkungan. Walaupun ada sepasang anak kembar yang selalu mengalami pengalaman persis sama, belum tentu keduanya akan mencapai tingkat kedewasaan yang sama. Karena pola pikir dan daya tahan setiap orang pasti berbeda.


Seiring bertambahnya usia, biasanya seseorang akan semakin mahir “menyembunyikan” inner child-nya. Wujud inner child tersebut mulai tersembunyi di balik tubuh dewasa dan kematangan pola pikir. Orang dewasa kerap tak sempat mengutamakan sense of inner child yang dimilikinya. Sebab tuntutan hidup dari lingkungan sekitar terus berubah. Bergerak dinamis seiring perkembangan zaman.

Tak dapat dipungkiri jika kadang kala inner child itu muncul ketika menghadapi situasi tertentu. Reaksi yang dipengaruhi inner child tersebut bahkan dapat membuat orang lain di sekitar kita jadi terkejut. Mereka akan merasa bahwa kita menunjukkan sisi yang sangat bertolak belakang dengan yang mereka kenal selama ini. Kita bisa tiba-tiba sangat gembira, marah, atau sangat sedih terhadap sesuatu. Karena inner child yang ada di alam bawah sadar seakan memutar kembali memori dan perasaan kita semasa kecil. 



Namun, ada segelintir orang yang terbiasa menahan kemunculan inner child tersebut. Mereka terbiasa menempatkan dirinya sebagai orang yang dewasa, tenang, dan tidak gegabah. Pengalaman hidup yang pahit menempa mereka menjadi sosok yang keras. Berusaha berubah dari seorang anak kecil lemah menjadi orang dewasa yang “sempurna” dan “punya segalanya”. 

Tidak akan ada orang yang memahami inner child seseorang selain dirinya sendiri. Jadi, berkeluh kesah atau sedih memang tak ada gunanya. Membuat orang-orang yang dikasihi ikut merasa sedih dan berbeban berat adalah sebuah kesalahan besar. Banyak orang berusaha menyembunyikan inner child-nya supaya seisi dunia tahu bahwa dia berbahagia. Keputusan itu tentu tidak salah. Biarkan dia tetap tersembunyi dalam tubuh kita. 

Sebab kita tak hidup untuknya, melainkan dia yang harus tahu. Bahwa kita tak ingin terjebak pada pengalaman masa lalu.


Referensi:












No comments