Yang Mendengar, Yang Terbuang


Tadinya saya mengira bahwa menempatkan diri menjadi pendengar yang baik adalah salah satu cara untuk berteman dengan banyak orang. Hampir semua orang ingin didengarkan tetapi sedikit yang bersedia menjadi pendengar setia. Namun, pada akhirnya saya menyadari kalau anggapan tersebut sangat keliru, bahkan salah besar.
Dulu, saya punya teman yang sudah saya kenal belasan tahun sejak di bangku sekolah dasar. Kala itu, saya selalu menempatkan diri menjadi pendengar bagi cerita-ceritanya. Mendengar keluh kesah tentang masalah keluarganya, tentang pekerjaannya, dan hal-hal lain yang penting baginya.

Semua berjalan begitu saja. Sampai akhirnya ada satu kejadian yang membuat saya sadar bahwa menjadi pendengar bukanlah keputusan terbaik. Mantan teman itu akhirnya mengatakan kalau saya ini aneh karena tidak pernah berbagi cerita dengannya. Dia merasa saya aneh karena saya selalu bertindak menjadi pendengar. Jadi, apakah saya harus memaksakan diri untuk bertindak lebih dari sekadar pendengar? Apakah mendengarkan cerita orang lain dengan seksama adalah suatu kesalahan?

Hi, Superhero. Is that you?

Betapa bodohnya saya yang dahulu berpikir bahwa menjadi pendengar adalah sejenis superhero bagi orang yang didengarkan. Namun, kejadian-kejadian yang terjadi beberapa tahun belakangan ini semakin membuka mata saya. Bahwa pendengar bukanlah sosok superhero. Mau tahu siapa superhero sebenarnya?

Superhero adalah orang yang berpengaruh bagi banyak orang.
Superhero adalah dokter yang hebat dan mampu menyembuhkan berbagai penyakit.
Superhero adalah influencer yang tulisannya dibaca banyak orang dan memberikan dampak besar bagi orang yang kisahnya dituturkan dalam tulisan tersebut.
Superhero adalah orang-orang yang melek hukum dan mampu membela serta mengusahakan keadilan bagi orang lain.

Pendengarmu adalah Kesetmu

Sebagai orang yang menempatkan diri menjadi pendengar, saya hanya ingin dihargai. Sedikit saja. Ingin dianggap berharga oleh orang-orang yang saya sayangi. Meskipun kenyataannya tidak demikian. Biasanya saya bahagia bila orang-orang terdekat sedang mencurahkan isi hati. Selebihnya, saya memang harus terima ketika tidak diacuhkan, tidak sedang dibutuhkan.
Barangkali saya memang tidak seberharga itu. Saya harus memahami bahwa semua orang punya masalahnya masing-masing. Butuh waktu untuk sendiri. Karena saya pun bukan superhero yang mampu memberikan bantuan besar. Saat seseorang tidak bisa memberikan bantuan besar, mungkin dirinya hanya ditempatkan sebagai keset atau samsak.
Seorang pendengar tidak boleh cengeng. Itulah sebabnya saya benar-benar lupa kapan terakhir kali saya menangis di hadapan orang lain. Beberapa tahun belakangan ini, saya sibuk mendengarkan cerita dari orang-orang terdekat. Menangis adalah hal yang sangat privasi dan akhirnya tidak mampu lagi saya tunjukkan di depan orang lain. 

Walaupun tidak mampu memberikan saran, setidaknya pendengar harus setia memasang kuping untuk orang yang sedang didengarkan. Kenikmatan menjadi pendengar itu tidak bisa ditukar dengan apa pun. Karena menjadi pendengar membuat saya merasa dipercaya. Merasa dikasihi meskipun realitanya tidak demikian.

Yang setia mendengarkan akan kalah dengan yang dampaknya jauh lebih dahsyat.
Yang setia mendengarkan akan kalah dengan yang selalu ada di sisi.
Yang setia mendengarkan tak ada harganya bila dibandingkan dengan orang lain yang lebih spesial.

Pada akhirnya pendengar yang ibarat keset itu letaknya memang hanya di kaki, yang akan dicari saat sedang dibutuhkan. Atau mungkin akhirnya dibuang karena sudah terlalu lusuh. Tergantikan oleh keset baru yang lebih bermanfaat, lebih menarik, dan lebih istimewa.
Kalaupun akhirnya dibuang, bukankah yang dibuang harus ikhlas?
Bukankah keset hanya bisa menerima?



No comments