Dylan dan Trauma yang Terlalu Dalam

Dylan dan Trauma yang Terlalu Dalam

Ada salah seorang keluarga kerabat yang sudah dua kali menitipkan anak anjingnya di rumah saya. Anak anjing jantan itu bernama Dylan, anjing kampung yang lucu sekali. Mata dan raut wajahnya sangat mirip dengan Chiko semasa kecil, anjing saya yang sudah mati.

Saat dua kali dititipi Dylan, saya senang sekali. Banyak foto Dylan di HP saya. Kala itu, saya juga memberinya banyak makanan agar dia kenyang. Pagi ini, Dylan dititipkan ke rumah untuk ketiga kalinya, persis sesaat sebelum saya membuat tulisan ini. Namun entah mengapa hari ini suasana hati saya kurang baik, padahal saya baru bangun dan belum melakukan apa-apa. Saya marah besar saat baru keluar kamar dan melihat isi tempat sampah sudah berantakan karena diacak-acak Dylan. Lalu, Dylan saya pindahkan ke ruangan lain kemudian sekat ruangannya saya tutup.

Saya bersungut-sungut karena melihat sampah berserakan di lantai. Bahkan, saya juga berteriak lantang ketika kaki saya tak sengaja menginjak pup Dylan di atas lembaran keset kamar mandi. Saya marah sekali. Saya berteriak kepada Mama, saya bilang bahwa saya tak mau dititipi Dylan lagi karena saya lelah dan banyak pekerjaan. Untungnya Mama sedang sabar, Beliau tidak marah kepada saya dan hanya mengiyakan. Mama bilang bahwa Beliau akan membereskan barang yang diacak-acak Dylan dan lain kali tak akan menerima bila dititipi Dylan lagi.

Hari ini suasana hati saya sangat buruk. Saya tidak bahagia. Kemudian, saya mengingat-ingat bahwa Dylan bukan anjing saya, dia milik orang lain. Saya tidak mau telanjur sayang padanya seperti saya menyayangi Chiko dan orang-orang terdekat saya. Selama ini saya terlalu menyayangi banyak hal, lalu orang-orang atau hewan-hewan yang saya sayangi itu meninggalkan saya dengan caranya masing-masing. Barangkali sayang saya terlalu berlebihan sampai rasa kehilangannya menyebabkan luka di hati. Perasaan itu sungguh tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata karena saya memang tak pernah menceritakannya kepada orang lain. Sekarang, saya ingin membentengi diri sendiri supaya tidak terus-menerus larut dalam kesedihan.

Saya menyesal telah marah pada Dylan yang tidak tahu apa-apa. Ketika saya keluar, dia menatap saya dengan matanya yang bundar dan berbinar-binar. Namun saya tidak ingin bermain dengannya. Saya hanya menyapu dan mengepel lantai sembari menangis saat rumah sedang kosong. Sesekali saya berjongkok sambil menyeka air mata karena tak kuasa menahan tangis. Perasaan yang bergejolak ini tak pernah benar-benar pergi dari hati saya sejak tahun lalu.

Maaf ya, Dylan. Saya yang salah dan terlalu sentimental.

Kamu terlalu lucu dan baik untuk menjadi sasaran kemarahan.

Tumbuhlah jadi anjing yang kuat dan setia.

Tetaplah jadi anjing baik di dunia yang kejam ini.

Semoga kamu bahagia dengan tuanmu.

No comments