Relax, Not Every Page Has To Be a Masterpiece





Bertahun-tahun lalu, saya tak pernah membayangkan akan ada di posisi saya saat ini. Duduk santai dengan celana pendek sembari menatap layar laptop berjam-jam. Atau menyamber ransel, meletakkan laptop di dalamnya lalu bergegas melangkahkan kaki ke kafe. Impian saya dulu jadi orang kantoran. Jadi tukang insinyur yang kerja di kantor mewah yang gedungnya tinggi-tinggi.

Kini saya bebas melangkahkan kaki ke mana pun saya mau. Asalkan semua pekerjaan bisa selesai tepat waktu, tak melewati deadline yang sudah ditetapkan. Sebenarnya saya jauh lebih suka bekerja di rumah. Karena saya bisa berhemat dan tak perlu repot berganti pakaian. Saya memang sangat suka tampil santai dengan celana pendek dan kaos longgar. Inilah menyebabkan orang-orang mengira bahwa saya adalah pengangguran.

Semua orang bebas berpendapat, saya pun demikian. Bebas mengatur diri sendiri.

Kalau diingat-ingat lagi, rasanya sudah tak terhitung berapa banyak orang yang bertanya-tanya soal pekerjaan saya. Karena saya menghabiskan sebagian besar waktu di rumah. Sesekali mampir ke ATM dan jajan di minimarket terdekat. Saking jarangnya berpenampilan rapi, anak anjing dan anak tetangga yang masih balita sering terperangah sewaktu melihat saya tampil agak rapi dengan celana panjang dan kemeja hitam.

Saya tidak sedang mengarang. Rupanya sudah sedemikian lekatnya citra pengangguran pada diri saya. Ah, itu tidak masalah. Semua orang bebas berpendapat, saya pun demikian. Bebas mengatur diri sendiri. Biarkan pemikiran mereka melayang-layang bebas, membayangkan tentang kesibukan saya. Faktanya, penampilan saya memang lebih rapi ketika akan pergi “bermain” daripada saat menyelesaikan pekerjaan. Wajah penuh riasan atau tidak, kaki dibungkus sepatu atau tidak, saya juga pekerja. Hanya tempat dan caranya saja yang berbeda dengan mayoritas pekerja di luar sana.

Saya memulainya dari nol. Benar-benar nol.

 

Momen-momen itu seperti baru terjadi kemarin. Momen sewaktu saya sibuk mencari pekerjaan setelah lulus kuliah. Di saat teman-teman seangkatan sudah mulai berbangga hati dengan pekerjaan barunya, saya masih sibuk ke luar masuk perusahaan untuk melamar pekerjaan.

Entah apa yang salah.
Rasanya sih saya gak goblok-goblok amat.

But you know what, saya hampir selalu tidak lulus psikotes saat melamar pekerjaan.
Satu-satunya psikotes yang berhasil saya lalui dengan cukup baik adalah tes profesi guru di salah satu sekolah nasional plus. Namun saya memutuskan mundur ketika diberi tahu harus melewati sesi micro teaching. Jadi sebenarnya saya ini niat cari kerja gak sih. Ah, saya juga bingung.
 
Di sela-sela kegiatan mencari pekerjaan, saya iseng membaca berbagai konten blog tentang profesi ghost writer. Rasanya pasti bahagia ya kalau tak harus ke luar rumah tetapi tetap bisa menghasilkan uang. Ini pasti profesi impian yang diminati banyak orang. Saya pun tergerak mencari lowongan sebagai ghost writer

Saya pernah mengawalinya dengan harga lima ribu rupiah untuk sebuah tulisan. Menulis tentang ulasan gadget sepanjang kurang lebih 600 kata dan dibayar dengan lima ribu rupiah. Kala itu saya tak memikirkan apa-apa sewaktu mengerjakannya. Kerjakan saja, asalkan segera selesai dan dibayar. Uang di ATM hanya tersisa dua ratus ribu rupiah. Sudah lulus kuliah, malu bila masih minta uang jajan kepada orang tua.

Selanjutnya, saya semakin giat mencari pekerjaan yang berhubungan dengan dunia penulisan. Jadi freelance writer katanya. Menjadi ghost writer untuk sebuah blog terkenal pun pernah. Saya ditugaskan menulis untuk seorang penulis yang bergabung dalam sebuah blog dengan niche digital marketer dan bisnis. Menulis untuk si penulis. Jadi, si penulisnya malah agak santai dan berbagi 50% pendapatan dengan saya. Iya, dianya gak nulis apa-apa. Sayanya yang nulis buat dia. Dan orang-orang berpikir kalau ulasan panjang lebar itu adalah tulisan dia. Itulah nasib jadi ghost writer.

Memantaskan Diri Adalah Sebuah Kewajiban

Hingga saat ini saya masih ingat perasaan bahagia ketika diterima oleh salah satu advertising agency terkemuka di Jakarta. Honor per artikelnya jelas jauh lebih besar dari lima ribu rupiah. Sembari menekuni pekerjaan sebagai freelance writer di agency tersebut, saya merangkak dari nol. Saya mempelajari banyak hal tentang cara menulis yang baik dan enak dibaca, memperbaiki CV, dan mencari berbagai beasiswa pelatihan menulis.

Perlahan-lahan, saya mulai percaya diri melamar pekerjaan sebagai freelance writer di berbagai advertising agency. Saya bebas melakukannya karena saya tak terikat oleh satu perusahaan pun. Saya bisa bekerja sesibuk apa pun, sesuka hati saya. Cuma satu hal yang harus saya lakukan, yaitu memastikan bahwa tak ada satu pun pekerjaan yang terbengkalai.

Ritme kerja saya masih sama, terbiasa bekerja dengan 4 hingga 5 perusahaan sekaligus. Pekerjaan dari berbagai brand akan datang silih berganti setiap hari. Kadang kala ada jeda beberapa hari untuk bersantai sejenak. Namun tak jarang pula saya harus ekstra teliti mengatur waktu untuk pekerjaan yang datang berbarengan. 

Saya tahu pencapaian itu tak ada apa-apanya dibandingkan orang lain. Saya masih amat sangat “kecil”. Ibarat kerak nasi yang menempel di baju kalau dibandingkan dengan freelance writer atau blogger yang lebih sukses dan penghasilannya jauh lebih fantastis. Satu hal yang saya tahu, bahwa saya senantiasa bekerja dengan hati. Saya akan menempuh jalan yang sudah saya pilih, sesulit apa pun jalan tersebut.

Masih kekeuh, keras kepala, dan sulit diatur.

 

 
 
Saya adalah orang yang keras kepala. Orang-orang terdekat saya pasti sudah memahami hal itu. Saya sulit diatur. Barangkali ini pula yang membuat saya senang mengatur pekerjaan dengan ritme saya sendiri.

Saya tidak suka bila ada orang yang terus-menerus mengingatkan saya untuk makan, tidur, istirahat, atau berhenti bekerja.

I’m not a couch potato that sitting all day long with a laptop and a bucket of snack.


Saya tahu kapan saya harus berhenti bekerja, kapan saya harus makan dan berolahraga. Bahkan saya selalu menyempatkan diri untuk ke luar rumah. Menghirup udara atau sekadar bermain bersama anjing tetangga. 


Sikap kekeuh dan keras kepala ini membuat saya pernah mengambil keputusan cukup besar. Pada dasarnya, saya tak pernah memutuskan berhenti dari pekerjaan yang sudah saya dapatkan. Kecuali bila memang kontrak kerja sudah habis dan tidak diperpanjang lagi oleh perusahaan. Namun hari itu saya punya keputusan lain yang saya ambil setelah bercakap-cakap dengan editor saya.

Saya bercakap-cakap dengannya tentang hasil tulisan saya bulan lalu. Waktu itu saya memang baru sebulan bergabung dengan sebuah media yang potensial dan sedang giat mengembangkan diri. Saya juga belum mendapatkan gambaran yang pasti mengenai visi misi dan tujuan yang ingin dicapai media tersebut. Semua terasa dipercepat dan buru-buru demi meraih target.
 
Kata-kata sang editor kira-kira begini,
“Tulisan elo itu “kering” banget. Gue gak bisa merasakan nyawa di tulisan itu. Kayaknya elo kurang piknik deh. Kita tuh harus ngembangin media X ini dengan gaya yang beda dari portal online lainnya. Coba deh elo ikut macem-macem event, ngeliput supaya dapet bahan yang fresh. Gaya tulisan elo juga masih perlu banyak perbaikan.”

Saya sama sekali gak nesu atau ngambek dengan kejujuran si editor. Saya tahu, gaya menulis saya untuk blog pribadi dan pekerjaan memang berbeda. Saya juga paham, tulisan saya masih banyak kekurangan di sana-sini. Saya mencurahkan ide dan isi hati di blog, bukan pada tulisan untuk konteks pekerjaan. Pasti gak mungkin juga kalau saya harus separuh curhat saat menulis untuk pekerjaan. Bagi saya, profesionalitas dan sentuhan personal dalam tulisan harus ada sekatnya.

Untuk urusan piknik dan ngeliput, saya bukan ABG yang sibuk ngejar passion dan hobi menyambangi event-event seru. Pekerjaan saya yang lain juga menunggu untuk diselesaikan. 

Yes, I’m money oriented-person.
Namun kenyamanan kerja dan tujuan yang jelas juga menjadi prioritas dalam hidup saya.

Kalimat-kalimat Mbak editor menjadi bahan perenungan saya dalam perjalanan pulang di TransJakarta. Akhirnya, saya memutuskan untuk menyudahi pekerjaan saya yang satu itu. Saya berpamitan dan mundur pelan-pelan. Sang owner meminta saya untuk bertahan selama satu bulan sebelum mendapatkan penulis baru. Sesekali saya masih mengisi beberapa tulisan. Namun untuk bertahan satu bulan penuh dengan pekerjaan tersebut, saya tidak bisa.


Entah tulisan ini bernyawa atau tidak, saya hanya menuangkan hal-hal yang saya alami selama beberapa tahun terakhir. Walaupun saya jarang sekali membahas hal-hal pribadi, tetapi kali ini saya merasa harus menuliskannya. Semua tulisan pasti bertemu dengan takdirnya. Seperti saya yang bertemu takdir dan orang-orang yang saya cintai dengan cara yang tak saya pahami.

Relax, not every page has to be a masterpiece.
I only doing things that makes me happy.










No comments