Mengapa Orang Lebih Memilih Berbohong?

Banyak orang suka mengucapkan kalimat klise yang satu ini:
“Mendingan gue denger kejujuran yang nyakitin daripada harus dibohongin.”

Padahal kalimat itu sering kali cuma sok iye doang.
Coba ingat-ingat tentang respon yang kita tunjukkan waktu mengetahui fakta di balik sebuah kebohongan.
Apakah kita bisa tenang? Bisa mengontrol emosi? Bisa menahan diri untuk tidak mengumpat?
Sebagian besar dari kita tentu tidak bisa menanggapi kebohongan dengan cara yang elegan.

Itulah sebabnya banyak orang lebih memilih berbohong.

Kebohongan yang tertutupi dengan sempurna akan menjadi rahasia pribadi orang yang berbohong. Soal urusan dosa, biarlah hanya dia dan Tuhannya yang tahu. Yang penting orang yang dibohongi tidak merasa tersakiti atau kecewa.
Kalaupun kita memutuskan untuk tidak berbohong, apakah orang yang kita beri kejujuran rela menyetujui dengan ikhlas?
Belum tentu, kan. Nah, itulah sebabnya orang kerap kali memutuskan untuk berbohong. Karena jujur berarti menyakiti dan belum tentu mendapatkan restu. Sering kali kejujuran malah membuat seseorang merasa serba salah karena sudah menyakiti hari orang lain.

Menyerang atau Bertahan?

Secara garis besar, ada dua tipe orang ketika mengetahui fakta di balik kebohongan. Dua tipe tersebut adalah tipe menyerang dan bertahan. Tipe yang pertama akan menyerang habis-habisan. Mereka akan sangat berang karena merasa sudah dibohongi. Mereka mungkin akan mengeluarkan makian dengan kata-kata kasar, sumpah serapah, atau bahkan membanting barang. Pelampiasan emosi secara besar-besaran biasanya membuat orang tersebut merasa lebih lega.
Lain lagi halnya dengan orang tipe kedua. Orang dengan karakter ini juga merasa sangat tersakiti. Namun, sering kali mereka memilih untuk bertahan, diam dan menangis. Meratapi kebohongan yang terungkap dengan cara-cara menyakitkan. Menyesali kebohongan-kebohongan yang dilakukan orang-orang terdekatnya. Rasa sakit hatinya akan dilampiaskan dengan cara yang pasif, merenung, dan lebih banyak berdiam diri. 

Haruskah Diungkit Terus?

Nasi yang sudah digoreng, jangan digoreng lagi.
Sebenarnya ada reaksi lain yang ditunjukkan seseorang ketika mengetahui fakta di balik kebohongan. Orang itu biasanya akan bersikap tenang, kelihatannya bijak, dan menegur seperlunya. Membuat jantung orang yang berbohong berdegup cepat tetapi tidak berlangsung lama. Karena biasanya pembahasan tentang kebohongan tersebut tidak disertai dengan emosi.
Namun, cara menegur yang bijak itu bukanlah akhir dari segalanya. Bukan berarti mereka sudah ikhlas memaafkan. Sebab suatu saat masalah itu bisa diungkit lagi. Terus-menerus diungkit lagi bila orang yang pernah berbohong kembali melakukan kekeliruan untuk konteks yang berbeda. Kesalahan yang sebenarnya tak ada hubungannya dengan kebohongan yang pernah dilakukan.
Mengungkit kebohongan lama itu mungkin dilakukan karena masih ada dendam yang tertinggal di hati. Masih tidak puas karena pernah dibohongi. Menegur secara bijak barangkali cuma kedok untuk menutupi amarah yang meledak-ledak. Jika sudah begini, si pembohong biasanya hanya terdiam atau pelan-pelan pergi untuk menghindari perdebatan yang lebih sengit lagi.

Aku sungguh tidak suka dilarang. Apalagi dilarang tanpa alasan yang jelas. Semakin dilarang, aku akan semakin melawan. Namun aku bukan orang bodoh yang tidak tahu caranya menjaga perasaan orang lain. Kadang-kadang, berbohong itu mungkin jadi jalan terbaik bagiku.
Aku tidak tahu kurangku di mana. Rupanya kebohongan sepele itu menutupi semua usaha yang sudah kulakukan selama ini. Sampai aku kelihatan sebegitu buruknya karena berbohong.
Kalau suatu saat aku pergi duluan, mudah-mudahan aku tidak dikenang sebagai pembohong. Aku punya alasan besar sewaktu melakukannya. Sebuah alasan yang mungkin tidak akan dimengerti oleh siapa pun.











No comments