Dialog Panjang Zaenudin dan Hayati (Tenggelamnya Kapal Van Der Wick)

Dialog Panjang Zaenudin dan Hayati

Saya termasuk orang yang telat banget nonton film Tenggelamnya Kapal Van Der Wick. Beberapa tahun lalu saya pernah nonton bagian depannya tapi ketiduran karena ngantuk banget mantengin romansa Zaenudin dan Hayati saat masih di tanah Minangkabau. Akhirnya film tersebut diputar kembali di salah satu stasiun TV swasta pada momen lebaran 2023.

Salah satu bagian film Tenggelamnya Kapal Van Der Wick yang paling saya sukai adalah one take shot berisi dialog panjang antara Zaenudin dan Hayati. Zaenudin mencurahkan isi hatinya yang penuh kekecewaan secara lugas. Eh, Hayatinya masih sialan nggak tahu diri karena berasa masih wajib dicintai setelah menyakiti hati Zaenudin sebegitu hebatnya.

Inilah dialog selengkapnya:

Hayati:

Saya akan berkata berterus terang kepadamu.

Saya akan jujur kepadamu.

Akan saya panggil kembali namamu sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan.

Zaenudin…

Saya sudi mengambil cobaan yang menimpa diriku.

Asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku.

 

Zaenudin:

Maaf…

Kau regas segenap pucuk pengharapanku.

Kau patahkan, kau minta maaf.

 

Hayati:

Kenapa kau jawab aku sekejam itu, Zaenudin?

 

Zaenudin:

Demikianlah perempuan.

Dia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil

dan ia lupa kekejamannya sendiri kepada orang lain padahal begitu besarnya.

 

Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam?

Bukankah kau yang berjanji ketika saya diusir ninik mamakmu

karena saya asalnya tidak tentu.

Orang hina, dihina tidak tulen Minangkabau.

Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan,

kau berjanji akan menunggu kedatanganku, berapa pun lamanya.

Tetapi kemudian kau berpaling ke yang lebih gagah,

kaya raya, berbangsa, beradat, berlembaga, berketurunan.

Kau kawin dengan dia.

Kau sendiri yang bilang padaku bahwa perkawinan itu bukan paksaan orang lain

tetapi pilihan hati kau sendiri.

Hampir saya mati menanggung cinta, Hayati.

Dua bulan lamanya saya tergeletak di tempat tidur.

Kau jenguk saya dalam sakitku

menunjukkan bahwa tangan kau telah berinang,

bahwa kau telah jadi kepunyaan orang lain.

 

Siapakah di antara kita yang kejam, Hayati?

Saya kirimkan surat-surat

meratap, menghinakan diri, memohon dikasihani.

Tiba-tiba kau balas saja surat itu dengan suatu balasan

yang tak tersudu di itik, tak termakan di ayam.

Kau katakan bahwa kau miskin, saya pun miskin.

Hidup tidak akan beruntung kalau tidak ada uang.

Karena itu kau pilih kehidupan yang lebih senang,

mentereng, cukup uang, berenang di dalam emas, bersayap uang kertas.

 

Siapakah di antara kita yang kejam, Hayati?

Siapakah yang telah menghalangi seorang anak muda

yang bercita-cita tinggi menambah pengetahuan

tetapi akhirnya terbuang jauh ke tanah Jawa ini.

Hilang kampung dan halamannya.

Sehingga dia menjadi seorang anak komedi yang tertawa di muka umum

tetapi menangis di belakang layar.

 

Tidak Hayati, saya tidak kejam.

Saya hanya menuruti katamu.

Bukankah kau yang meminta dalam suratmu

supaya cinta kita itu dihilangkan dan dilupakan saja,

diganti dengan persahabatan yang kekal.

Permintaan itulah yang saya pegang teguh sekarang.

Kau bukan kecintaanku, bukan tunanganku, bukan istriku,

tetapi janda dari orang lain.

 

Maka itu, secara seorang sahabat, bahkan secara seorang saudara,

saya akan kembali teguh memegang janjiku dalam persahabatan itu.

Sebagaimana teguhku dahulunya memegang cintaku.

Itulah sebabnya dengan segenap ridho hati ini

kau kubawa tinggal di rumahku untuk menunggu kedatangan suamimu.

Tetapi kemudian bukan dirinya yang kembali pulang,

tetapi surat cerai dan kabar yang mengerikan.

Maka itu sebagai seorang sahabat pula kau akan kulepas pulang ke kampungmu,

ke tanah asalmu, tanah Minangkabau

yang kaya raya, yang beradat, berlembaga,

yang tak lapuk di hujan, tak lekang di panas.

Ongkos pulangmu akan saya beri demikian pun uang yang kau perlukan.

Dan kalau saya masih hidup,

sebelum kau mendapat suami lagi,

Insya Allah, kehidupanmu selama di kampung akan saya bantu.

 

Hayati:

Zaenudin, itukah keputusan yang kau berikan kepadaku?

bukankah kau telah termasyhur di mana-mana?

Seorang yang berhati mulia.

Tidak, saya tidak akan pulang.

Saya akan tetap di sini bersamamu.

Biar saya kau hinakan, biar saya kau pandang sebagai babu yang hina.

Saya tak butuh uang berapa pun banyaknya,

saya butuh dekat dengan kau, Zaenudin.

Saya butuh dekat dengan kau.

 

Zaenudin:

Tidak.

Pantang pisang berbuah dua kali.

Pantang pemuda makan sisa.

Kau mesti pulang kembali ke Padang.

Biarkan saya dalam keadaan begini.

Jangan mau ditumpang hidup saya.

Orang tidak tentu asal, negeri Minangkabau beradat.

Besok hari Senin ada kapal berangkat dari Surabaya menuju Tanjung Priok

terus ke Padang.

Kapal Van Der Wick.

Kau menumpanglah dengan kapal itu pulang ke kampungmu.

 

No comments