Beberapa minggu lalu,
mentor menulis kami tiba-tiba mengirimkan pertanyaan di grup WhatsApp.
“Kira-kira kalau ada yang minta kita nulis artikel di website mereka, harga yang wajar berapa?”
Teman-teman
saya menyebut harga yang terbilang sangat murah. Hingga akhirnya mentor
saya protes. Menurut Beliau, kami sudah melalui proses panjang untuk belajar
menulis. Sangat tidak layak kalau kami mendapat bayaran murah, apalagi bila
hanya berkisar di angka sepuluh atau dua puluh ribu rupiah untuk satu artikel.
Akhirnya,
mentor saya mengatakan bahwa kisaran harga yang tepat adalah Rp 150.000 sampai
Rp 250.000 untuk satu artikel 500 kata. Wow, emejing.
Saya
tahu mentor kami bermaksud baik. Sangat baik. Beliau gak ingin murid-muridnya
dihargai dengan tarif menulis yang terlalu rendah. Makasih banyak, Mbak. Mbak
selalu memperhatikan kami meskipun kami sudah lulus sejak beberapa tahun lalu.
Ada Hukum Alam yang Tak Bisa Dilawan
Waktu itu
saya berusaha menjelaskan kepada mentor kami bahwa saat ini rata-rata digital
agency menetapkan harga artikel yang sangat rendah. Yes, bahkan
masih ada saja yang pede menawarkan harga Rp 10.000 untuk satu artikel 1.000
kata. Ya terus ngana pikir kita nulis gak pake cari ide, beli paket internet, browsing,
mengorbankan waktu dan tenaga?
Keberadaan
penulis-penulis yang mau dibayar dengan harga super murah jelas merugikan para
penulis profesinal. Tidak ada standar baku mengenai harga artikel berdasarkan tingkat
kesulitan dan jumlah katanya. Menurut prinsip digital agency sih, ngana
mau kerjain ya silakan, kalo gak mau ya gue cari penulis lain yang mau dibayar
murah.
Jadi
saya rasa sih, tarif Rp 150.000 sampai Rp 250.000 untuk satu artikel 500 kata
jelas ketinggian. Karena saya masih butuh uang, perlu makan. Mustahil saya bisa
menetapkan tarif menulis setinggi itu. Karena beberapa digital agency yang
saya tangani kemungkinan besar bakal langsung menyudahi kerja sama.
Ya Tapi Gak Sampe Murahan Banget Juga Kali …
Walaupun
tidak bisa menetapkan harga artikel yang memuaskan, setidaknya saya membuat
standar untuk diri sendiri. Iya, dong. Saya gak mau menerima pekerjaan dengan
harga di bawah Rp 20.000 per artikel. Dua puluh ribu rupiah memang cuma receh
buat penulis yang biasa dibayar jutaan rupiah untuk satu artikel. Namun, saya
mengejar kontinuitas. Supaya agency-agency kopet itu mau ngorder
terus-menerus ke saya. Sekarang, saya mau sombong dulu. Karena saya bisa
menjanjikan topik yang cukup oke dan waktu pengerjaan artikel relatif singkat.
Tidak pernah melewati deadline. How cool I am?
Mengapa Kuharus Disembunyikan?
Tahun
2018 lalu, saya pernah teleponan dengan salah satu bos saya. Bos digital
agency yang popularitasnya terbilang oke seantero Jabodetabek. Waktu itu
dia bilang, nama saya sebenernya udah gak asing lagi di kalangan digital
agency. Banyak agency yang berusaha “ngumpetin” saya. Barangkali
takut sayanya diambil agency lain dengan tawaran harga yang lebih
menggiurkan.
Jadi
memang jelas sudah bahwa tidak ada standar harga yang baku untuk jasa menulis
artikel. Tapi, saya juga punya hak penuh untuk menetapkan harga yang wajar.
Rentang harga yang sebanding dengan kualitas tulisan saya. Kalau saya lagi gak
banyak kerjaan, saya siap mengambil order yang harganya terbilang murah. Namun,
saya juga punya keleluasaan memilih order dengan harga paling aduhai saat saya
sedang sibuk.
Salah Satu Jenis Klien Sialan
Saya
beri tahu ya definisi klien sialan menurut saya. Sebenarnya saya sih sudah pernah
beberapa kali bekerja sama dengan klien sialan. Lebih tepatnya sih agency yang
bekerja sama. Jadi sayanya cuma disuruh bikin artikel untuk kebutuhan si klien
sialan.
Klien
sialan biasanya gak bayar mahal tapi mintanya macem-macem. Nah, klien yang satu
ini bergerak di bidang broker asuransi. Pertama, dia sendiri yang bikin content
plan tentang asuransi jiwa. Setelah saya menyelesaikan artikel asuransi
jiwa tersebut, kliennya protes. Katanya brand-nya itu gak punya produk
asuransi jiwa. Lah, kan tadi ngana sendiri yang nyuruh beta bikin artikel
tentang asuransi jiwa. Terus ngana mau nyuruh beta revisi artikel asuransi jiwa
jadi artikel kesehatan?
Itu
namanya bikin artikel baru, Bambang. Bukan revisi. Belum pernah dicubit
ginjalnya kali ya.
Tak
lama kemudian klienya nyuruh bikin artikel lagi, masih bahas-bahas soal
asuransi. Karena informasi dan data riset tentang broker asuransi di
Indonesia masih sangat minim, saya jadi gak memasukkan banyak data ilmiah dalam
artikel. Akhirnya, saya pun diprotes lagi, katanya artikel saya kurang
mengandung data.
Dari sepuluh
artikel yang saya buat, tujuh di antaranya dikirim lagi ke saya untuk direvisi.
Kurang data katanya. Baiklah, Ki Sanak. Saya berusaha mencari data ilmiah
semampunya. Data ilmiah yang nyambung sama topik artikel. Ternyata tidak
semuanya bisa mendapatkan data tambahan. Maklum deh, susah Bu nyari data yang
relevan. Kalau saya menulis asal-asalan, nanti malah jadi hoax.
Setelah
merasa cukup dengan revisi, saya mengirimkan kembali file-file artikel
tersebut. Tak lupa pula saya bilang bahwa itu adalah kali terakhir saya
berurusan dengan klient tahi kucing tersebut. Saya bukannya tidak tahu bersyukur.
Saya hanya meyakini bahwa rezeki bisa berasal dari mana saja. Sekalipun saya
memutuskan menyudahi penulisan artikel untuk si klien tahi kucing. Saya tahu
saya butuh uang. Namun, bukan berarti dia bisa bertindak sesuka hatinya. Lagi
pula, saya pun gak mau andaikan disuruh baca tulisan yang saya buat untuk klien
itu. Tulisan yang terlalu boring dan hardselling. Apalagi netizen
kita yang biasanya cuma liat-liat gambar terus langsung komentar nyinyir tanpa
mau tahu isi artikelnya. Bhay.
No comments