Tahun
2019 hampir berakhir. Pepatah yang mengatakan bahwa satu tahun dapat mengubah
banyak hal itu ternyata benar. Banyak sekali hal yang saya alami di tahun ini
hingga saya ingin menyebutnya sebagai tahun yang penuh kehilangan.
Apa
yang hilang? Tentu saja bermacam-macam.
Saya
sempat kehilangan orang yang saya anggap sahabat. Atau mungkin sebenarnya dia
memang bukan sahabat tapi hanya saya saja yang beranggapan seperti itu. Ini
bukan masalah besar. Hidup harus terus berjalan. Lahir sendirian dan mati pun
nanti sendirian. Oh, iya. Tahun ini saya juga kehilangan cinta dari orang-orang
terdekat. Orang-orang yang tadinya selalu membuat saya bersemangat menjalani
hari demi hari. Mungkin mereka masih di dekat saya, tetapi rasanya sungguh jauh
sekali dan mustahil digapai. Masa-masa penuh kebahagiaan bersama mereka sudah
usai.
Kehilangan
mereka bikin saya sedih berbulan-bulan. Namun, belakangan ini saya baru
tersadar bahwa saya memang tidak bisa mengandalkan cinta dan perhatian dari
siapa pun. Lahir sendirian dan mati pun nanti sendirian. Ungkapan Ali bin Abi
Thalib yang satu ini benar sekali. Bunyinya, “Aku sudah pernah merasakan semua
kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia”.
Kehilangan
pertama, kehilangan kedua, dan kehilangan-kehilangan lainnya. Begitu seterusnya
kejadian-kejadian di tahun ini. Yang terakhir, saya punya sahabat kecil, seekor
anjing bernama Chiko. Dia sudah menemani saya sejak 3 Oktober 2010, sejak saya
masih kuliah. Saya tidak pernah curhat kepada Chiko, tetapi bermain dengannya
bikin saya lebih bahagia. Sayangnya, tanggal 30 November kemarin dia mati
karena sakit pencernaan. Sedihnya bukan main. Rupanya Tuhan juga mengambil
sahabat kecil saya tahun ini.
Saya
memang menyayanginya. Namun, saya juga tahu kalau Tuhan jauh lebih
menyayanginya. Tuhan tak ingin Chiko sakit terlalu lama. Sekarang, tak ada lagi
yang menyambut saya ketika pulang ke rumah. Tak ada lagi yang duduk manis di
depan pintu dapur untuk minta camilan. Kepergian Chiko meninggalkan kesedihan
yang mendalam. Yang tersisa darinya hanya kenangan-kenangan manis serta foto-fotonya.
Betapa saya ingin minta maaf karena sering memarahinya ketika dia kabur. Kadang-kadang
dia memang lari ke luar rumah, memanfaatkan pintu gerbang rumah yang lupa
ditutup. Namun, penyesalan memang tak pernah ada gunanya. Di mana pun saat ini Chiko
berada, saya yakin dia sudah jauh lebih bahagia.
Kehilangan-kehilangan
tersebut menimbulkan banyak luka di hati, lubang-lubang besar. Luka yang
kemudian membuat saya bertanya-tanya, sebenarnya apa esensi kebahagiaan bila
pada akhirnya kita pasti ditinggalkan. Haruskah saya berjaga-jaga agar tak
terlalu bahagia supaya tidak merasakan sakit luar biasa akibat kehilangan?
No comments