Gobloknya Orang Indonesia Lebih Parah dari Sekadar Buta Huruf

Gobloknya Orang Indonesia Lebih Parah dari Sekadar Buta Huruf

Saya termasuk tipe orang yang sangat tidak suka diganggu ketika tidur, terutama tidur malam. Karena saya akan berusaha bangun lebih pagi bila memang ada pekerjaan atau hal penting yang harus saya selesaikan. Tapi pagi ini, kurang lebih tiga jam sebelum saya menulis artikel ini, ada seorang pria yang menghubungi saya via WhatsApp. Dari profil picture-nya, dia tampak seperti chef, memakai baju chef dengan tampilan klimis.

Pria itu menghubungi saya jam tujuh pagi untuk menanyakan lowongan chef pastry di salah satu kafe terkenal di kota tempat tinggal saya. Sekitar Desember 2019, saya memang menulis ulasan pengalaman pertama datang ke kafe tersebut. Namun, saya sudah menjelaskan bahwa saya bukan food blogger. Food blogger aja bukan, apalagi staf kafe yang sengaja berusaha mempopulerkan kafe tersebut. Rasanya kesel banget karena tidur harus terganggu oleh orang yang “salah sambung”. Goblok.

Ini bukan kali pertama ada orang yang menghubungi saya untuk menanyakan lowongan pekerjaan di kafe itu. Si chef pastry ini adalah orang kedua karena beberapa bulan lalu ada orang yang menghubungi saya dengan tujuan serupa. Apa sebegitu parahnya kemampuan membaca orang Indonesia sampai ada dua orang yang menghubungi saya untuk menanyakan pekerjaan?

Seriously.

Gobloknya orang Indonesia itu lebih parah dari sekadar buta huruf biasa karena lebih dari separuh masyarakat Indonesia mengalami buta huruf fungsional. Berdasarkan data dari presentasi Indonesia Economic Quarterly 2018, kurang lebih 55% penduduk Indonesia mengalami buta huruf fungsional. Itu berarti, mayoritas masyarakat Indonesia mampu baca tulis tetapi tidak mampu memahami konteks bacaan secara tepat. Jadi, nggak heran kali ya kalau ada dua orang yang bisa nyasar ke saya dengan tujuan nyari lowongan kerja. Kalian emang seputus asa itu sampai nggak mampu baca ulasan blog dengan teliti?

Kegoblokan yang bersumber dari buta huruf fungsional menurut saya serupa dengan orang-orang yang bikin petisi online. Kalau yang menandatangani sih banyak motifnya, ada yang emang pengen dukung atau terpaksa aja ikutan karena didesak oleh relasi dengan si pembuat dan penyebar petisi online. Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki regulasi khusus yang mengatur tentang petisi online. Di tahun 2016, ada lebih dari 500.000 masyarakat Indonesia yang menandatangani petisi online agar Ahok tidak ditahan akibat kasus penistaan agama (Al Maidah 51). Lantas apa hasilnya?

Ahok akhirnya tetap harus ditahan dan menjalani masa hukuman pidana selama kurang lebih dua tahun. Belajar dari pengalaman tersebut, emang sia-sia aja gitu sok-sokan bikin petisi online. Apalagi kalau kasus yang dibahas tidak bersifat mendesak atau berkaitan dengan kehidupan banyak orang. Mendingan diem aja deh, mulai menyibukkan diri, cari uang yang banyak. Uang tidak bisa membeli kebahagiaan, tapi kebahagiaan pasti sulit menghampiri kita kalau nggak ada uang. Di dunia yang kejam ini, orang-orang yang cuma punya idealisme sekeras batu karang nggak akan dianggap. Pada akhirnya, hanya orang-orang yang punya uang banyak atau punya kekuasaan di genggaman tangan yang akan jadi pemenangnya.

Hiduplah dengan santai. Kasihi diri sendiri dan orang-orang yang mengasihi kita. Terus mengejar kesempurnaan cuma membuat kita kehilangan hal-hal yang sudah kita miliki.

No comments