Orang Waras Ngalah Sama Orang Gila

Orang Waras Ngalah Sama Orang Gila

Ada satu kalimat terkenal yang bunyinya kira-kira begini:

“Jika yang waras terus-menerus mengalah, yakinlah bahwa sebentar lagi dunia ini akan dikuasai orang gila.”

Jadi, intinya kalimat itu pengen ngejelasin bahwa orang waras harus mati-matian berkonfrontasi dengan orang gila. Biar apa?

Biar dunia ini tetap aman, waras, damai, dan tenteram, jauh dari pengaruh si gila.

Namun, kenyataan memang tidak pernah seindah dan segampang kata-kata. Menghadapi orang gila itu beneran capek, menguras energi. Kalau ngadepin orang gila yang telanjang bulat di jalan sih tergolong mudah banget karena semua orang tahu bahwa dia gila. Nah, yang jauh lebih sulit bahkan mungkin lebih sulit daripada menemukan mukjizat adalah menghadapi orang gila intelek. Iya, orang gila intelek yang masih pakai baju, yang kelihatan terpelajar, yang bisa koar-koar di dunia nyata maupun dunia maya untuk menunjukkan inteligensinya yang tinggi.

Alkisah suatu hari saya menemukan konten perang antara orang waras dan orang gila. Jadi gerombolan orang gilanya ini adalah barisan sakit hati yang merasa kecewa dengan pemuka agamanya. Sementara itu, grup orang warasnya adalah umat dari agama yang sama tapi sifatnya terbilang netral. Kalau dilihat-lihat sih si waras bukan tipe yang membela pemuka agamanya sampai membabi buta sebab mereka hanya selalu membantah hal-hal nyeleneh yang disampaikan si gila.

Setiap hari si gila selalu repost berita-berita seputar hal negatif yang dilakukan golongan pemuka agamanya. Di sisi lain, si waras berusaha membalik-balikkan posting-an si gila dan kerap mengatakan bahwa tidak semua pemuka agama bersikap tercela seperti itu. Namanya juga barisan sakit hati. Tentu saja apa pun yang bertentangan dengan mereka pasti dianggap musuh. Si gila menganggap kalau si waras ini mengganggu mereka, mencoreng nama baik mereka, menghalangi mereka dalam “mengungkap kebenaran”.  Padahal nggak banyak yang peduli dengan semua usaha yang dilakukan si gila. Saya lihat sih yang berkomentar dan mengiya-iyakan cuma mereka dan temannya, sesama barisan sakit hati.

Keluarga, sahabat, dan orang-orang terdekat si gila sudah kehabisan akal menyadarkan mereka dari kegilaannya. Jadi, saya merasa takjub banget ada gerombolan orang waras yang mau meluangkan waktunya untuk menghadapi kebencian demi kebencian yang ditunjukkan barisan orang gila sakit hati. Si waras yang geregetan sesekali menggunakan kata-kata agak kasar untuk membalikkan omongan si gila.

Selanjutnya, si gila merasa kalau “aksi mulianya” terganggu oleh komentar-komentar pedas si waras. Pada akhirnya si gila mengancam akan memolisikan gerombolan waras karena menganggap mereka menyerang secara pribadi sehingga aksinya meresahkan. Nah lo. Lebih lucunya lagi, ada satu orang gila di antara grup itu yang menyatakan kalau pengikut media sosial si waras juga harus ikut dilaporkan karena membiarkan para waras itu mengolok-olok si gila. Jadi, si gila beranggapan bahwa aksinya menyebarkan ujaran kebencian serta hal-hal negatif itu wajar, sementara si waras justru harus mendapatkan ganjaran hukum karena memojokkan mereka.

Ih, ternyata dunia sudah tua dan dipenuhi semakin banyak orang gila.

Setelah kejadian ancam-mengancam itu, beberapa orang dari gerombolan waras mulai tidak tampak di media sosial. Saya rasa mereka berhenti menghadapi si gila karena merasa capek, terlalu banyak buang waktu, tenaga, dan energi. Sebenarnya saya yakin mereka bukannya tidak punya power kalau seandainya harus berurusan dengan pihak berwajib. Mereka yang waras itu berasal dari kalangan profesi yang terhormat. Tapi buat apa?

Buat apa menghabiskan waktu, tenaga, dan uang hanya untuk mengurus pepesan kosong. Ngeladenin orang gila kan nggak ada habisnya, apalagi gilanya karena mabuk agama. Jadi, anggapan saya kalau kebaikan sering kalah dari kejahatan memang benar adanya. Kan buktinya orang waras aja males berurusan sama orang gila. Ah, padahal saya suka sekali menyaksikan baku hantam antara si gila dan si waras. Seru aja karena ada yang ngebalik-balikkin omongan si gila yang merasa paling suci.

Saya jadi ingat satu kutipan terkenal dari Pramoedya Ananta Toer.

“Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit.”

 

No comments