Aku Tidak Mau ke Gereja Lagi

Aku Tidak Mau ke Gereja Lagi

Ada seorang anak yang rajin ibadah di gereja. Lalu suatu hari ia berkata kepada ibunya,

“Bu, mulai hari ini aku tidak mau ke gereja lagi.”

“Lo kenapa?” sahut sang Ibu.

Karena di gereja aku menemukan orang-orang yang kelihatannya suci tapi sebenarnya tidak. Ada yang sibuk dengan smartphone-nya, ada yang memimpin ibadah tapi tetap melakukan tindakan maksiat,  ada yang menyelundupkan uang persembahan dari umat. Selain itu, ada pula yang membicarakan keburukan orang lain serta hanya mau bergaul dengan komunitasnya saja.

Sang Ibu pun berpikir sejenak dan berkata,

“Baiklah kalau begitu, tapi ada satu syarat yang harus kamu lakukan setelah itu terserah kamu.”

“Apa itu?”

“Ambillah air satu gelas penuh, lalu bawa keliling gereja. Ingat, jangan sampai ada air yang tumpah.”

 

Si anak pun membawa segelas air berkeliling gereja dengan hati-hati hingga tak ada setetes pun air yang jatuh.

Sesampai di rumah, sang ibu bertanya,

“Bagaimana? Sudah kamu bawa air itu keliling gereja?”

“Sudah.”

“Apakah ada yang tumpah?”

“Tidak.”

 

“Apakah di gereja tadi ada orang yang sibuk dengan smartphone-nya?”

“Wah, aku tidak tahu karena pandanganku hanya tertuju pada gelas ini”, jawab si anak.

“Apakah di gereja tadi ada yang membicarakan keburukan orang lain?” tanya sang ibu lagi.

“Aku tidak dengar karena sedang berkonsentrasi menjaga air dalam gelas, Bu.”

“Apakah di gereja tadi ada yang menyelundupkan uang persembahan umat?”

“Tidak tahu, Bu. Aku kan cuma fokus membawa gelas berisi air agar tidak tumpah sesuai pesan Ibu.”

Sang Ibu pun tersenyum lalu berkata,

“Begitulah hidup anakku, jika kamu fokus pada tujuan hidupmu. Kamu tidak akan punya waktu untuk menilai kejelekan orang lain.” Jangan sampai kesibukanmu menilai orang lain membuatmu lupa akan kualitas dirimu.”

Sumber: Instagram @Hasyim_Mahmuda (dengan adaptasi seperlunya)

 

Dalam hidup ini, acapkali kita menemukan dan menghakimi keburukan-keburukan orang lain. Kita merasa bahwa tindakan orang lain tidak benar, mengarah pada maksiat bahkan ketika sedang beribadah. Perasaan sebagai si paling suci itu muncul meskipun tidak langsung terucap. Kita lupa bahwa banyak hal lain yang lebih penting daripada sekadar membahas keburukan orang lain.

Agama memang hanya media, sebuah manifestasi yang bertujuan membuat sebagian orang lebih mudah menghayati Sang Pencipta. Namun, pada dasarnya semua agama mengajarkan kebaikan. Interpretasi manusia saja yang menjadikan agama sebagai alasan untuk menghakimi orang lain dan merasa paling benar. Mau taat beragama ya silakan, mau tidak beragama ya juga silakan.

Kalau mau jadi orang yang taat beragama, fokuslah pada Sang Pencipta, bukan sibuk menilai orang lain yang seagama maupun tidak. Memang sih kebebalan kerap membuat segelintir orang merasa jadi pahlawan karena berusaha membela kesucian agamanya. Amarah yang dijadikan dalih untuk membela Sang Pencipta. Padahal Sang Pencipta tidak pernah meminta dibela. Orang yang paling mulia di mata Sang Pencipta belum tentu adalah dia si paling benar yang kerap menghakimi kemaksiatan orang-orang di sekitarnya.

Agama itu bisa diibaratkan kelamin. Sungguh tidak perlu kita menunjukkan kelamin kita dengan bangganya ke orang lain. Tak perlu juga mengatakan bahwa cara orang memperlakukan kelaminnya itu salah karena tindakan kita yang maha benar. Kalau mau potong kelamin ya silakan potong, tidak ada orang yang peduli kalau kita tak punya kelamin. Mau kelamin kita tandas sekalipun karena dipotong, orang-orang akan tetap melanjutkan hidup seperti biasa tanpa memikirkan kelamin kita.

Lagian kelamin kan letaknya di balik pakaian, tak bakal kelihatan juga, kan?

 

Lantas kalau saya membahas topik seperti ini, pasti ada yang menganggap kalau saya ini berdosa sekali. Sebab saya tidak peduli dengan kemaksiatan kaum suci yang mengotori agama. Iya, iya, iya. Saya sekarang malas berdebat untuk hal apa pun yang menurut saya tidak berfaedah. Kalau Anda bilang saya sialan, ya udah iya. Bila Anda bilang saya salah banget karena mendukung pelaku maksiat, ya udah iya. Jika Anda bilang saya penuh dosa, ya udah iya.

Sebagai penutup, saya ingin menulis sebuah kutipan dari Pastor Yosef dalam film Ave Maryam (2018):

“Orang yang mencampuri takdir orang lain, tidak akan dapat menemukan takdirnya sendiri.”

 

1 comment