Sejak beberapa hari lalu Ibu saya semangat banget mau masak sayur genjer. Entah Beliau dapat inspirasi dari mana, pokoknya semangat sekali. Kemarin, pagi-pagi Beliau sudah ke pasar dekat rumah, membeli dua ikat genjer. Setelah makan siang, Beliau mulai menyiangi genjer-genjer itu. Lama sekali karena katanya ribet dan kotor. Alhasil, beliau capek dan ketiduran agak lama sampai tidak sempat olahraga sore.
Hari ini genjer itu ditumis bersama sambal terasi lalu disajikan dengan beberapa lauk lain, yaitu balakutak tumis cumi hitam dan sisa telur semur yang dihangatkan. Saat jam makan siang tiba, kami berdua pun bergegas menyantap makanan seperti biasa.
Jangan Berharap Banyak pada Siapa (dan Apa) Pun
Sekadar informasi, saya ini memang agak payah mengidentifikasi ketidakberesan pada makanan, misalnya kalau makanan mulai basi atau cita rasanya nggak lazim. Harap maklum, saya dapat didikan ala VOC dari nenek semasa kecil. Jadi, makanan enak atau nggak enak, suka tau nggak suka, ya harus dimakan sampai habis karena nggak ada menu alternatif .
Meskipun kemampuan mengenali makanan nggak beres di bawah rata-rata, rongga hidung saya berhasil mendeteksi sesuatu yang buruk saat mengunyah sayur genjer untuk pertama kalinya. Hmm, bau tai menyeruak di seluruh rongga mulut. Tapi hati nurani saya menyangkal, saya terus melanjutkan makan. Suapan kedua, ketiga, dan seterusnya. Tiba-tiba Ibu saya berkata,
“Genjernya pahit, ya?”
“Nggak pahit, ah. Ini mah bau tai.”
Sesaat setelah saya berkata seperti itu, saya dan Ibu malah ketawa ngakak. Ibu saya langsung menyuruh mengambil kantong sampah untuk membuang semua sayur genjernya. Memang mubazir, sayang banget kalau dibuang, tapi kami nggak sanggup melanjutkan makan dengan sayur bau tai. Untungnya, masih ada cumi dan telur yang jadi lauk makan siang.
Sepanjang melanjutkan makan siang, Ibu dan saya masih asyik ngobrolin sayur genjer yang rasanya ajaib sambil ketawa. Ibu saya merasa pengorbanannya menyiangi genjer sampai nggak sempat olahraga sore itu sia-sia. Sayurnya ternyata bau banget sampai nggak bisa dimakan. Sebagai anak yang baik banget, jelas saya menghibur Ibu. Saya bilang kalau pengorbanan itu kadang sia-sia, kadang juga sia-sia banget. Lagian bukannya terus terang aja bilang sayur genjernya bau tai, eh malah pake bilang rasanya pahit. Jelas-jelas yang dominan itu bau tainya, bukan rasa pahitnya.
Saya kemudian ingat bahwa genjer itu hidup di air, mirip seperti eceng gondok. Kalau eceng gondok itu mengapung di permukaan, akar genjer justru menancap sampai ke dasar. Itulah sebabnya saya meyakini mungkin genjer yang dibeli Ibu tumbuh di perairan kotor yang sarat tai. Daya osmosis pada batang membuat sari-sari kotoran hewan maupun manusia terserap ke seluruh bagian genjer. Wah, sungguh ilmiah sekali penjelasan ini walaupun cuma membahas soal sayur bau tai.
Hikmah dari Bau Tak Sedap
Insiden makanan bau tai ini bukan yang pertama kali terjadi di rumah saya. Dulu pernah juga labusiam mini yang harusnya lezat dan manis malah berbau tai setelah dikukus sampai matang. Usut punya usut, Ibu saya menggunakan dandang kotor untuk mengukus labusiam itu. Air kotor dan sisa-sisa makanan dalam dandang menghasilkan bau tak sedap yang diserap labusiam selama proses pengukusan. Maka sejak itulah saya dan Ibu lebih rajin mencuci dandang.
Menurut saya, sayur genjer bau tai bisa diumpamakan seperti anak yang tinggal di lingkungan keluarga toxic. Anak tersebut tumbuh dalam situasi yang tidak ideal, misalnya kehilangan peran orang tua, broken home, kondisi finansial sangat buruk, atau sering menerima kekerasan. Hal-hal buruk di masa kecil membuatnya tumbuh jadi pribadi toxic yang rentan mengganggu orang lain di sekitarnya.
Sementara itu, labusiam bau tai bisa diibaratkan seperti orang yang karakternya buruk karena pengaruh dunia luar (selain keluarga). Lingkungan pergaulan yang menyesatkan (contohnya, suka mabuk, berjudi, menggunakan narkoba, atau sangat malas) lama-kelamaan membuat orang-orang di dalamnya berubah jadi pribadi toxic.
Hidup kadang memang selucu itu. Kita memang masih bisa memilih mau bergaul di lingkungan seperti apa, tapi tentu tak dapat menentukan kita lahir di keluarga mana. Sayangnya, labusiam dan genjer bukan manusia sehingga pasrah saja harus tumbuh atau dimasak di mana. Masa depan tak bisa ditebak ujungnya, sama seperti saya yang tidak tahu kalau bakal makan sayur bau tai hari ini.
No comments