Di
sebuah desa kecil hiduplah dua orang kakak beradik laki-laki yang rukun.
Keduanya memiliki lahan pertanian masing-masing. Selama 40 tahun, mereka hidup
berdampingan dan bergotong royong. Pinjam meminjam alat pertanian, bertukar
bibit tanaman, dan saling membantu bukanlah hal asing bagi mereka.
Suatu
ketika, saudara yang lebih muda menyewa buldozer dan membuat sebuah sungai
besar. Aliran sungai tersebut memisahkan tanah pertanian miliknya dan saudaranya
yang sudah berdampingan sejak lama. Setelah mengetahui hal tersebut, si kakak
menjadi sangat geram. Dia merasa bahwa adiknya sudah tak ingin lagi menjalin
hubungan baik dengannya.
Keesokan
harinya, ada seseorang yang mengetuk pintu rumah sang kakak di pagi hari. Orang
tersebut adalah tukang kayu yang membawa sekotak perkakas lengkap.
“Permisi,
saya sedang mencari pekerjaan. Apakah Anda punya pekerjaan untuk saya?” tanya
sang tukang kayu.
“Nah,
kebetulan Anda datang ke sini. Lihatlah di seberang sana. Adik saya sengaja
membawa buldozer untuk membuat sungai dan memisahkan lahan pertanian miliknya
dan milikku. Kelihatannya dia sudah tak menganggapku sebagai saudara lagi.
Lebih baik aku putus hubungan dengannya.”
“Lalu
apa yang bisa saya kerjakan, Tuan?”
“Saya
punya setumpuk kayu ulin yang kokoh. Tolong buatkan pagar setinggi 3 meter dari
kayu-kayu itu. Supaya saya tidak perlu lagi melihat muka adikku dan lahan
pertaniannya.”
“Saya
memahami maksud Anda. Baiklah, saya akan segera menyelesaikannya hari ini.”
Tukang
kayu itu segera mengangkut kayu-kayu dan bahan lainnya dengan sigap. Dia
bekerja keras sejak pagi hingga sore dengan kayu-kayu ulin tersebut. Ketika
hari menjelang senja, ia memberitahukan kepada sang tuan bahwa pekerjaannya
sudah rampung. Namun sang tuan malah terkejut bukan kepalang dengan hasil
pekerjaan si tukang kayu. Tak ada pagar tinggi seperti permintaannya. Hanya ada
sebuah jembatan besar yang menghubungkan satu sisi sungai dengan sisi sungai
lainnya.
“Saya
kan menyuruhmu membangun pagar. Kenapa kamu malah membangun jembatan?”
“Betul,
Tuan. Namun saya kira Tuan dan adik Tuan membutuhkan jembatan, bukan pagar.”
Sang
adik yang melihat jembatan kayu tersebut bergegas berlari ke tengah jembatan,
menghampiri kakaknya dan tukang kayu yang sedang bercakap-cakap.
“Kak,
kau benar-benar sangat bijaksana. Kau membangun jembatan kokoh ini setelah
semua yang kulakukan kepadamu. Aku sadar bahwa hubungan baik kita adalah hal
yang jauh lebih penting dari apa pun. Jembatan ini akan memudahkan kita untuk
bertemu setiap saat. Aliran sungai yang kubangun bisa digunakan untuk mengairi
lahan pertanian kita.”
Kakak
beradik itu lantas berpelukan dengan gembira di tengah jembatan. Setelah
menyaksikan kejadian mengharukan tersebut, sang tukang kayu segera berbalik badan
dan bergegas pergi.
“Tuan
tukang kayu, Anda mau pergi ke mana? Masih banyak pekerjaan yang bisa Anda
selesaikan di lahan pertanianku” tukas sang kakak.
“Saya
sangat senang berada di sini. Namun saya harus pergi, Tuan. Masih banyak jembatan
lain yang harus kubangun.”
Sumber:
Mengapa Kayu Ulin?
Kayu
ulin merupakan salah satu jenis kayu paling kuat. Teksturnya semakin kokoh bila
terkena air. Inilah yang membuat kayu ulin sering digunakan untuk membuat
jembatan. Semakin lama, jembatan dari kayu ulin akan semakin kuat dan tak mudah
rusak karena terpaan air laut atau cahaya matahari.
Bu,
jikalau nanti masalah kembali datang bertubi-tubi, jangan mendirikan pagar
tinggi di lahan kalian masing-masing. Ingatlah bahwa ada “jembatan kokoh” yang
terbuat dari kayu ulin. Jembatan yang menjadi simbol pertolongan-pertolongan
tak terduga untuk perjuangan kalian. Mempertahankan ego itu ibarat mendirikan
pagar setinggi-tingginya. Kalian tak akan bisa memberikan perhatian satu sama
lain karena terhalangi pagar yang tinggi.
Gunakan
kayu-kayu itu dengan bijaksana. Bangunlah jembatan kokoh agar mantap berpijak
dan lancar melangkahkan kaki. Langkah kaki kalian pasti tak selalu seirama.
Terseok-seok, kadang tersandung, terjatuh, bahkan terantuk batu hingga terluka.
Yakinlah bahwa semuanya bisa diselesaikan dengan baik. Sampai nanti tepat
waktunya Dia mengucapkan kata selesai.
Kalian
tak harus selalu melewati jembatan kokoh itu. Banyak jalan lain yang bisa
kalian lalui. Namun saat kalian mulai merasa saling berjauhan, bertemulah di
tengah jembatan. Mulailah mengingat kembali perjuangan yang selama ini telah
kalian lakukan.
Aku akan selalu jadi salah satu jembatan kayu untuk kalian. Mungkin kalian tidak menyadarinya. Namun aku akan terus melakukannya.
Jembatan memang selalu jadi
pendengar setia bagi siapa pun. Barangkali jembatan kelihatan diam saja. Siang
dan malam dia bersedia menjadi pijakan dan tempat berkeluh kesah. Dia yang
kalian jadikan pijakan itu akan ikut bahagia menyaksikan hubungan baik kalian.
Bilah-bilah kayunya yang kokoh dan rapat akan memuluskan langkah kaki kalian sampai
ke tempat tujuan.
Tak
perlu kau tanyakan soal perasaan si jembatan. Angin kencang dan hantaman ombak
saja tak pernah berhasil mengganggunya. Apalagi kalau hanya kerikil kecil atau
goresan-goresan yang ditorehkan orang iseng. Dia jauh lebih kuat daripada yang
kalian duga. Percuma menanyakan tentang keluh kesah si jembatan. Kalian tak
ubahnya seperti orang gila, yang berbicara sendiri tanpa mendapat jawaban
apa-apa.
Kalian
hanya perlu bangkit terus setelah jatuh dan berpijak dengan mantap pada
jembatan itu. Tak peduli terpaan panas, hujan, angin, atau gelombang besar, jembatan
dari kayu ulin itu akan selalu ada. Tak pernah bergeser, tak pernah melemah,
dan setia menantikan langkah demi langkah kalian.
You jump, I jump.
You laugh, I laugh.
No comments