3 Kasta di Agamaku

3 Kasta di Agamaku

Saya adalah tipe orang yang tidak terlalu senang membicarakan agama, termasuk agama yang saya anut. Pandangan saya dari dulu sampai sekarang masih sama, agama tidak akan membuat seseorang menjadi lebih baik. Memeluk agama itu hanya salah satu pilihan hidup. Seseorang tak langsung jadi baik seperti malaikat dan pasti masuk surga hanya karena beragama. Bagi saya, masih banyak kok orang-orang yang tidak beragama tapi perilakunya jauh lebih baik dan manusiawi daripada orang-orang yang katanya taat beragama. Saya juga sering kali berpikir kalau orang beragama dan aktif berkegiatan di agamanya itu hanya demi dipandang positif oleh lingkungan sekitarnya dan supaya jelas kalau nanti mati bakal dikubur pakai tata cara apa.

Selama hidup ini, saya selalu merasa takjub dengan beberapa dosen saya yang tidak pernah memperlihatkan apa agamanya. Mereka punya inteligensi tinggi, mampu berpikir logis, dan bersikap wajar sama semua mahasiswanya tanpa memandang agama apapun. Jadi saya pikir saya akan meniru dosen-dosen saya. Tak perlu terlalu terbuka soal agama, apalagi membela agama mati-matian. Tunjukkan apa adanya diri sendiri kepada dunia tanpa melibatkan agama kita.

Tau nggak sih bahwa banyak orang berhenti pergi ke rumah ibadahnya atau berhenti melakukan aktivitas sosial bersama komunitas agamanya karena kecewa dengan sesama yang agamanya sama?

Saya sendiri merasakan dan menemukan bahwa umat beragama di lingkungan tempat tinggal saya bisa dikelompokkan ke dalam tiga kasta ini:

Kasta 1: Si Penghuni Surga

Mereka yang termasuk kasta 1 biasanya terdiri dari pasangan suami istri beserta anak-anaknya. Yes, harus suami istri karena agama saya menjunjung tinggi monogami dan anti perceraian. Bagi agama saya atau mungkin umat yang bernaung di dalamnya, pernikahan itu suci, sejati, murni, abadi, tulus, indah, agung, ya pokoknya yang bagus-bagus deh. Apalagi kalau pasangan suami istrinya dari kalangan ekonomi menengah ke atas dan aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan agama, unch sempurna dan uwuu banget. Memang biasanya mereka mendominasi berbagai kegiatan di rumah ibadah dan lingkungan. Semua kegiatan mau diborong biasa kesannya aktif dan relijiyus banget. Mereka juga kerap menempati posisi penting di rumah ibadah maupun lingkungan.

Oh, iya. Mereka yang tergolong kasta 1 di agama saya ini mayoritas suku Jawa. Bukan cuma suami istri Jawa tulen sih, ada juga yang suaminya orang Flores dan istrinya orang Jawa, atau kawin campur antara suku Jawa dan suku-suku lainnya. Tapi ya kebanyakan adalah suku Jawa. Para penghuni surga ini biasanya ngobrol dengan golongannya aja saat ada kegiatan agama di lingkungan. Kasta-kasta di bawahnya harus minggir karena nggak selevel. Mereka memang nggak menyatakan keengganan bergaul dengan kasta lain secara langsung. Namun, sikap mereka selama bersosialisasi lebih dari cukup untuk menunjukkan isi hati tersebut.

Di balik semua kesempurnaan itu, hampir nggak ada yang tahu kalau ada sosok-sosok suami yang melirik janda lain, ada anak-anak yang minum obat tidur karena orang tuanya terlalu sibuk bekerja, atau ada istri yang chat sama lawan jenis sampai jam 2 pagi. Saya berani ngomong begini karena tahu fakta-fakta di balik kehidupan si penghuni surga.

Kasta 2: Si Kambing Congek yang Manut Aja

Kasta berikutnya diisi oleh kalangan yang lebih bervariasi, misalnya janda atau duda yang single parent atau keluarga umat dari suku di luar Jawa seperti Flores, Sunda, Batak, dan lainnya. Hampir sebagian besar si kasta dua berada pada taraf ekonomi yang lebih rendah daripada si kasta satu. Kalau ikut kegiatan agama di lingkungan, mereka biasanya manut-manut aja. Jarang berbaur juga sih karena si kasta satu sibuk sama gerombolannya doang.

Soal kegiatan di rumah ibadah, kasta dua akan jadi alternatif kalau para kasta satu sedang berhalangan hadir, misalnya pulang kampung. Maka jadilah si kasta dua sebagai pemain cadangan yang menggantikan pemain utama. Dalam keadaan normal ya nggak usah ditanya, jelas kasta satu yang harus tampil paling bersinar.

Kasta 3 : Antara Ada dan Tiada

Nah, selanjutnya adalah kasta 3 yang dianggap antara ada dan tiada. Istilah kasarnya sih bisa disebut sebagai kaum marjinalnya agama saya. Si kasta tiga biasanya jarang beribadah di rumah ibadah atau ikut kegiatan keagamaan di lingkungan. Hadir atau tidak hadir sama saja, tidak ada bedanya bagi umat lain. Ada juga kasta tiga yang cukup rajin beribadah tetapi kehadirannya tetap disepelekan. Ciri khas lainnya yang melekat pada kasta tiga adalah kemunculannya sebagai prioritas saat umat seagamanya sedang bagi-bagi bantuan. Soal urusan akses informasi, jelas kasta tiga paling ketinggalan karena jarang dianggap ada. Udah ah bahas kasta tiga jangan panjang-panjang. Bahas dikit aja sesuai tingkat urgensinya dalam agama saya. Ups.

 

Saya nggak berniat menjelekkan siapa pun kok, cuma mengungkapkan apa yang selama ini saya lihat, saya dengar, dan saya rasakan. Baik atau tidaknya seorang manusia tidak ditentukan oleh ketaatannya dalam beragama. Mereka yang tampak paling taat dan paling ideal belum tentu pasti jadi yang terbaik di mata Sang Pencipta. Karena percuma taat beribadah kalau tidak mampu memanusiakan manusia lain dan hanya memoles tampilan luar supaya terlihat baik.

Ok, kita ambil sisi positifnya aja, deh. Untung masih ada orang-orang yang tergolong kasta satu di dunia ini. Coba kalau semua orang bodo amat dan mageran seperti saya, pasti nggak bakal ada organisasi yang bisa jalan.

No comments