Hiduplah Seperti Daun Salam dalam Nasi Uduk



Ada apa dengan nasi uduk?
Gak ada apa-apa sih. Nasi uduk ya sama saja seperti makanan bersantan lainnya. Rasanya gurih, teksturnya legit, dan aromanya sangat khas. Sambil tutup mata pun, rasanya hidung kita tak akan kesulitan mengenali aroma nasi uduk.

Nasi Uduk dalam Sepenggal Kisah Hidup Saya

Saya cuma ingin bertutur bahwa nasi uduk adalah salah satu bagian terpenting yang menyertai hidup saya. Jadi, waktu saya sekolah dulu hampir setiap hari saya membawa nasi uduk sebagai bekal. Seorang ibu berusia lebih dari separu baya berjualan nasi uduk di rumahnya, tepat di depan sebuah lapangan bulutangkis. Nasi uduknya sangat sedap dan pulen. Ada berbagai lauk pelengkap nasi uduk yang bisa dipilih, yaitu bihun dan mi goreng, bakwan dan tempe goreng, dan orek tempe. Untuk sambalnya, si ibu menyiapkan dua jenis, yaitu sambal goreng dan sambal kacang.

Kalau sekarang dipikir-pikir, sebenarnya saya juga bingung. Kenapa dulu saya gak pernah bosan bawa bekal sekolah berupa nasi uduk setiap hari. Tapi ya gitulah. Kalau budget pas-pasan, nasi uduk adalah bekal yang paling pas untuk sekolah. Waktu itu, harga seporsi nasi uduk yang porsinya kayak buat kuli ditambah sepotong tempe goreng hanya Rp 1.500. Sangat mengenyangkan dan gak bikin boros. Saking seringnya saya bawa nasi uduk, malah teman saya yang bosan dan protes.
“Mel, elo gak bosen ya tiap hari makan nasi uduk? Pake tempe goreng doang lagi…”
Ibu guru saya yang tak sengaja mendengar perkataan tersebut tiba-tiba nyeletuk,
“Makanya, kamu jangan mau kalah sama Mel. Dia cuma makan nasi uduk tiap hari aja bisa pinter.”
Enggaklah, saya gak pinter-pinter amat. I’m not clever. I’m just blessed.
Kurang lebih 10 tahun lamanya saya berlangganan nasi uduk si ibu. Ibu yang tidak pernah saya tulis namanya di lembar persembahan skripsi. Padahal, dia berjasa banget mencerdaskan saya yang isi kantongnya cekak. Ibu tua yang bahkan saya tidak pernah tahu namanya. Ya, pokoknya saya manggilnya ibu aja.

Dari kecil emang udah ngerepotin. Sampai ngerepotin tukang nasi uduk juga.

Saya bukan cuma ngerepotin ibu tukang nasi uduk karena selalu ingin nasi yang porsinya banyak. Sebenarnya, saya juga sering ngacak-ngacak persediaan koran milik si ibu. Koran-koran yang biasa dijadikan sebagai alas kertas nasi. Saat saya dapat tugas kliping dari guru, biasanya saya langsung meluncur ke rumah si ibu. Meminta izin untuk ngaduk-ngaduk tumpukan korannya supaya bisa menemukan isi berita yang cocok dengan tugas saya. Iya, ngaduknya lama banget sih. Tapi semuanya saya beresin lagi kok. 
Selain itu, saya juga kerap menukarkan uang receh di pagi-pagi buta. Biasanya saya menukarkan uang kalau disuruh nenek atau membutuhkan uang pecahan kecil untuk dana Aksi Puasa Pembangunan (APP) di sekolah. Tahun demi tahun berlalu, saya lulus sekolah dan pindah tempat tinggal ke kota lain. Saya sudah tidak lagi antre membeli nasi uduk di pagi buta. Kabar terakhir yang saya dengar, si ibu penjual nasi uduk sekarang sudah pensiun. Tidak berjualan nasi uduk lagi dan memilih menghabiskan hari tua di kampung halamannya.

Daun Salam yang Selalu Ada dalam Nasi Uduk

Ada satu jenis rempah yang tidak pernah terlewatkan ketika membuat nasi uduk, yaitu daun salam. Siapa pun yang membuat nasi uduk, biasanya pasti menyingkirkan daun salam sebelum menyendok dan menyantapnya. Daun salam dianggap mengganggu nasi uduk, rempong, membuat nasi uduk jadi sulit disendok. Apalagi jika banyak nasi yang menempel pada daun salam. Pasti nasinya disisihkan dulu supaya tidak terbuang bersama daun salam.
Padahal saat hendak membuat nasi uduk, daun salam dicari ke sana ke mari. Ada yang sibuk membelinya di pasar atau tukang sayur. Ada juga yang gak modal dan nyabutin pohon daun salam punya tetangga. Semua pasti setuju kalau nasi uduk akan kurang sedap jika dibuat tanpa daun salam. Karena perpaduan aroma daun salam dan sereh merupakan ciri khas nasi uduk.
Daun salam kayaknya gak punya masa kedaluwarsa deh. Gak seperti bawang-bawangan atau kentang yang mudah busuk ketika ditaruh di tempat lembap. Tidak juga seperti lengkuas yang sudah tidak terlalu harum kalau telanjur mengering. Daun salam yang sudah disimpan berbulan-bulan sampai kering masih bisa dimanfaatkan. Aromanya tidak pernah berubah walaupun bentuk fisiknya tampak sangat tidak menarik.

Sebagai manusia yang sering bersikap buruk dan kecewa terhadap banyak hal, barangkali kita harus banyak belajar dari daun salam. Karena daun salam yang disingkirkan setelah nasi uduk matang tidak pernah mengeluh. Tetap setia membuat aroma nasi uduk jadi harum dan semakin menggugah selera. Gak pernah kan daun salam bergumam, “potek hati aku tuh”?
Daun salam adalah jenis rempah yang sangat mudah ditemukan di pasar tradisional, tukang sayur, warung, dan supermarket. Harganya pun sangat murah. Bahkan tak jarang para penjual rempah merelakan daun salamnya diambil pembeli secara gratis sebagai pelengkap aneka hidangan. Rempah-rempah lain seperti kecombrang, temu kunci, dan andaliman tentu tak bisa ditemukan semudah daun salam. Jadilah seperti daun salam yang tidak pernah jual mahal, yang selalu bersedia membantu siapa pun yang sedang membutuhkan pertolongan.
Meskipun sudah mengering dan berubah warna menjadi hitam, daun salam tua masih memberikan aroma khas yang sama dengan daun segar yang baru dipetik. Jadilah seperti daun salam. Usia yang bertambah bukanlah halangan untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain di sekitar kita. Terutama bagi orang-orang yang kita sayangi.
Jadilah seperti daun salam. Aromanya meninggalkan kesan khusus yang senantiasa diingat semua orang. Kehadiran kita mungkin tak selalu dianggap berharga. Namun setidaknya, ada kenangan-kenangan baik yang bisa diingat ketika kita sudah tak ada.
Ciye tumben bijak ciyeee.
Mel sehat?






2 comments

  1. Terimakasih, mel untuk cerita dan filosofi daun salammu. Jangan berhenti menulis!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo, Kak Sarah. Terima kasih sudah mampir di blogku dan membaca tulisan ini. Tetap semangat ya :)

      Delete