Sepucuk Surat untuk Ibuku (Juga)


Good morning, Bu.
Aku mengawali surat ini dengan ucapan selamat pagi, persis seperti yang Ibu lakukan hampir setiap hari, menyapaku melalui chat. Tak jarang pula aku terbangun dan tak jadi kesiangan karena sapaan pagi dari Ibu. Terima kasih ya, Bu. Sapaan itu terasa hangat sekali saat aku bahkan tidak tahu harus memulai hari dengan cara seperti apa, tidak tahu harus berkeluh kesah kepada siapa. Ucapan sesederhana itu membuat hari-hariku lebih menyenangkan.

Ibu masih ingat waktu kita bertemu untuk pertama kalinya?
Kala itu, Ibu muncul dan berdiri di depan jendela kelasku. Ibu tersenyum manis, agak terburu-buru hendak mencocokkan lembar absensi. Senyum Ibu di bulan Juli tahun 2002 itu sama persis dengan senyum-senyum yang aku lihat beberapa tahun terakhir ini. Aku bahkan tidak pernah percaya kalau tahun demi tahun membuat usia Ibu bertambah, tanpa keriput, tanpa uban. Ibu senantiasa cantik dan sehat seperti waktu kita pertama kali bertemu.

Dear Ibuku sayang,
aku memang jarang sekali berbagi cerita dengan Ibu. Namun, ketahuilah bahwa ada kalanya aku mengetik ceritaku kepada Ibu sambil menangis sendirian. Ibu memang tak pernah menanggapi panjang lebar, tapi jawaban Ibu kerap menenangkan. Aku selalu merasa lebih baik setelah mencurahkan isi hatiku kepada Ibu.

Bu, aku banyak belajar tentang makna kesabaran dari Ibu. Selama ini Ibu sudah jadi teladan kesabaran bagiku. Pernah suatu hari Ibu berkata, “Cuma sabar yang Ibu punya, Mel.” Kalimat itu sempat membuatku gemas, Bu. Seiring berjalannya waktu, aku sudah memahami arti kalimat itu. Sering kali kita tidak bisa memaksakan kehendak agar sesuai keinginan kita. Bila sudah begitu, memang hanya sabar yang kita punya. Lebih baik diam dan diam.

Aku acap kali merasa kita punya banyak kesamaan watak, Bu. Bukan dalam hal kesabaran, melainkan untuk urusan menyimpan rahasia dan tak ambil pusing dengan anggapan orang. Seandainya Ibu menyimpan rahasia apa pun hingga saat ini, aku percaya Ibu melakukannya dengan tujuan yang baik. Aku paham bahwa Ibu sudah sangat banyak berkorban selama ini. Menunaikan tugas-tugasmu di sekolah hingga purna waktu sudah lebih dari cukup untuk membuktikan kesungguhan hatimu.

Bu, aku minta maaf ya kalau beberapa waktu ini aku terlalu memaksakan kehendakku kepada Ibu. Sungguh aku hanya menginginkan yang terbaik bagi kita semua, seperti waktu pertama kali kita memulainya. Tapi kini aku sadar bahwa rencana kita memang belum tentu sama dengan rencana Tuhan. Semoga Ibu selalu menjalani hari-hari dengan bahagia seturut rencana-Nya.

Ibu adalah salah satu orang yang membuatku yakin kalau ketulusan memang masih ada di dunia ini. Terima kasih sudah menenangkan badai di hatiku dalam beberapa waktu belakangan ini, Bu. Ketika aku merasa nyaris semua orang meninggalkanku, ternyata Ibu masih ada. Masih memberiku senyuman manis setiap kali kita bertemu. Masih mengajakku bersenda gurau di sela-sela kesibukan Ibu.
Aku malu, Bu. Aku sering mengaku jadi anakmu tetapi masih jauh dari kata sempurna. Aku minta maaf kalau selama ini sering membebani Ibu. Sekarang, aku hanya ingin Ibu selalu sehat dan bahagia, tidak kurang dan tidak lebih.
Wahai malaikatku yang tak bersayap, terima kasih sudah mewarnai hidupku. Jikalau nanti aku punya kesempatan jadi manusia lagi di kehidupan berikutnya, semoga Dia sudi menakdirkan aku jadi anakmu lagi. Jalinan jodoh baik kita saat ini merupakan salah satu anugerah terbesar dalam hidupku. Terima kasih banyak karena telah bersedia memaklumi segala kekuranganku. Sehat-sehat ya, Bu. Aku selalu membutuhkan nasihat-nasihat dan teladan dari Ibu. I love you, Ibu.

Peluk sayang,
Mel



No comments