Guru: Tak Cuma Mengantar Kita Jadi “Orang” Tetapi Juga Harus Memanusiakan


Tadinya sih saya mau bikin judul yang berbau clickbait gitu kayak,
“Panduan Menjadi Guru Zaman Now yang Cerdas. Nomor 4 Bikin Pasti Kamu Terkedjoet.”
Tapi ya gak jadi deh. Bikin judul yang normal aja dengan bahasa yang agak menyentuh. *uhuk
Guru zaman dahulu memang beda banget sama guru zaman now. Sekarang, gurunya udah lebih stylish, lebih kekinian, dan bebas gaptek. Kita bebas terhubung kapan pun dengan guru kita melalui aplikasi chat atau media sosial. Hubungan murid dan guru di zaman dahulu memang lebih kaku dan formal banget. Namun, hal-hal tersebut malah membuat esensi belajar mengajar yang sesungguhnya lebih terasa. Murid dan wali murid sangat menghormati guru. Demikian pula halnya dengan guru yang benar-benar berdedikasi demi perkembangan murid-muridnya.

Guru Terbaik Adalah yang Menjadi Panutan Budi Pekerti

Ada murid yang orang tuanya super sibuk bekerja dari pagi hingga malam. Sehingga guru menjadi sosok orang tua yang paling banyak berinteraksi dengan murid tersebut. Jam belajar yang cukup lama di sekolah mungkin membuat murid lebih sering berinteraksi dengan guru dibandingkan orang tuanya. Oleh sebab itu, guru dituntut untuk menjadi panutan budi pekerti yang baik bagi murid-muridnya.

Guru terbaik adalah mereka yang tak cuma mengantar kita jadi “orang”, tetapi juga membentuk kita menjadi manusia.

Cerdas itu harus. Namun, kecerdasan tersebut harus dilengkapi dengan budi pekerti yang luhur. Apa gunanya cerdas tapi songong. Murid yang sudah menjadi orang belum tentu menjadi manusia seutuhnya. Belum tentu menjadi manusia yang memahami cara menempatkan diri di lingkungannya. Sang guru harus memberikan teladan yang baik bagi murid-muridnya. Karena murid akan mencontoh perbuatan gurunya, bukan mengikuti kritik dan saran yang disampaikan sang guru.

Guru Itu Profesi, Bukan Pekerjaan

“Saya kan udah kerja keras setiap hari. Tapi…”
Kalau sekadar kerja, tukang becak sama pemulung juga kerja. Menjadi guru bukanlah suatu pekerjaan, melainkan profesi. Ada tanggung jawab besar dan kode etik yang wajib dijunjung tinggi oleh guru. Jadi guru mungkin gak bikin mereka kaya. Eh, mungkin deh bisa kaya. Misalnya jadi guru di sekolah-sekolah mahal atau bisnis sampingannya sambil ngepet. Namun, tidak banyak guru yang beruntung bisa mencapai taraf hidup sangat sejahtera.
Tapi kenapa masih ada saja orang yang berkomitmen menjadi guru?
Tentu saja karena panggilan hati. Karena ada niat untuk membimbing generasi muda penerus bangsa. Duh, kok jadi serius banget sih bahasannya.   

Menggunakan Media Sosial dan Aplikasi Chat dengan Bijak

Ngana bukan model yang bebas pamer foto selfie apalagi yang seksi-seksi. Saat memutuskan memilih profesi sebagai guru, berarti orang tersebut harus sudah berkomitmen dengan dirinya sendiri. Berkomitmen untuk menjaga perkataan dan tingkah laku, terutama di hadapan murid, wali murid, dan keluarga besar sekolah. Sudah bukan waktunya lagi untuk pamer foto sampai status WhatsApp atau instastory jadi kayak tusuk jelujur. Apalagi sampai mengeluarkan umpatan-umpatan yang sangat kasar dan tendensius. Salah satu parameter kualitas guru zaman now yaitu cara mereka menggunakan media sosial dan aplikasi chat.

Membentuk Kita Menjadi Pribadi yang Visioner

Guru yang berkualitas tak hanya mengulang-ulang omongannya tentang kekurangan kita. Mereka akan mempersiapkan kita menjadi pribadi yang visioner. Mereka akan memberikan pengarahan yang berkaitan dengan masa depan.

“Nanti kalau naik kelas tuh kalian bakal…”
“Jadi mulai sekarang kalian harus…”

Mereka akan menjadi salah satu yang berbangga hati ketika bertemu kita yang telah dewasa. Mungkin mereka sudah tidak mengingat nama kita. Tetapi nasihat dan ajarannya yang selalu membuat kita mengingat mereka.

Selalu Menjunjung Tinggi Kebenaran


Saya ingat betul kejadian ketika saya masih kelas satu SMP. Hari itu adalah momen pengambilan rapor dan pengumuman naik kelas. Ternyata ada lima orang teman sekelas saya yang tidak naik kelas. Pemandangan pun seketika berubah menjadi haru biru. Murid-murid perempuan yang tidak naik kelas mulai sesenggukan, untungnya tidak guling-gulingan di lantai teras kelas. Ada yang dimarahi habis-habisan oleh mamanya. Ada pula putri bungsu yang menangis di pelukan maminya.

“Angel gak mau sekolah di sini lagi, Mami. Angel mau pindah aja.Malu. Aaaaa~”
“Iya, sayang. Cup cup jangan nangis lagi ya. Kita pindah sekolah. Nanti Angel pilih mau sekolah di mana ya, sayang.”

Usut punya usut, hanya wali kelas saya saja yang tidak meluluskan lima orang muridnya ke kelas dua. Dua kelas paralel lainnya mulus-mulus saja. Semua muridnya berhasil naik ke kelas dua. Mengapa Bapak guru saya begitu tega?
Tepat ketika saya menuliskan hal ini, saat saya mengingat-ingat lagi kejadian itu, akhirnya saja menemukan jawabannya. Karena guru saya menjunjung tinggi kebenaran. Murid yang kompetensinya tidak memadai memang sudah sepantasnya tidak naik kelas. Agar murid tersebut bisa memperbaiki diri. Supaya mereka tidak main-main lagi dengan pelajaran di sekolah.
Guru yang baik bukanlah guru yang tindakannya “asal wali murid senang” atau “asal atasan saya senang”. Segala yang keliru dan salah harus lekas diperbaiki. Sehingga tidak menimbulkan kekisruhan yang semakin parah di kemudian hari.
Guru yang berdedikasi membuat kita patut bersyukur karena bisa mempelajari banyak hal darinya. Guru yang durjana juga memberikan banyak pelajaran bagi kita. Bahwa kita harus menjadi pribadi yang lebih baik dari mereka. Tiada yang sempurna, termasuk refleksi yang kali ini saya tulis. Meskipun sudah mendapatkan teladan yang baik, hingga kini saya masih sangat jauh dari kata sempurna. Namun saya hanya ingin mereka tahu, bahwa mereka selalu menjadi sosok yang menginspirasi. Senantiasa menjadi cahaya warna-warni yang menerangi perjalanan murid-muridnya menuju masa depan.




No comments