Mengapa
rasa iba itu bisa muncul terhadap orang yang jelas-jelas tidak perlu
dikasihani?
Padahal,
di depan mata dia bersenang-senang seenaknya, begitu bahagia dengan
kehidupannya. Tak tampak sedikit pun kesulitan yang harus dituntaskan. Di luar
sana pasti masih banyak orang lain yang lebih membutuhkan bantuan.
Tapi
mengapa Tuhan izinkan rasa iba muncul dengan begitu hebatnya?
Bukankah
menolong orang yang tidak membutuhkan bantuan sama dengan perbuatan yang
sia-sia?
Lalu,
mengapa
rasa benci itu mudah timbul terhadap orang yang pernah dikasihi selama puluhan
tahun?
Tak
terhitung berapa banyak kenangan yang tercipta selama puluhan tahun. Ada rasa
senang, sedih, haru, dan tawa yang saling mengisi satu sama lain.
Apakah
warna-warni kehidupan yang dilalui bersama tak mampu merekatkan hubungan yang
sedang renggang?
Barangkali
itulah yang disebut panas setahun dihapus hujan sehari.
Pantaskah
kalau satu dua kesalahan menghapus semua kenangan dan jalinan kasih itu?
Sebesar
apa kesalahan itu?
Apa
lebih besar daripada orang yang sebenarnya mampu tetapi pura-pura kesusahan?
Candaan
Tuhan tak sepenuhnya dapat kumengerti. Candaan-Nya juga tidak lucu bagiku. Aku
tak habis pikir. Bahkan kali ini Tuhan seakan-akan mencabut semua kemampuanku.
Selain merasa tak berdaya, aku juga tidak ingin menyakiti siapa pun.
Memang
Tuhan yang mengatur segalanya.
Namun
bukankah Tuhan juga Maha Pemurah?
Bolehkah
aku menyelipkan permintaanku di sela-sela canda-Nya?
Permintaan
yang tak perlu kutuliskan itu, kuyakin Tuhan lebih mengetahuinya.
Kalau
Tuhan butuh keset, aku rela jadi keset-Nya.
Siapa
tahu nanti Tuhan bersedia mengabulkan permintaanku.
No comments