Menolong Diri Sendiri Sebelum Menolong Orang Lain

 

Menolong Diri Sendiri Sebelum Menolong Orang Lain

Waktu di sekolah dulu saya dikenal sebagai murid yang cukup cerdas. Meskipun sebenarnya sesekali saya juga menyontek untuk mata pelajaran tertentu yang tidak saya sukai, salah satunya Kewarganegaraan. Ketika menyontek, biasanya saya bekerja sama dengan beberapa teman yang sama-sama duduk di deretan paling belakang. Untuk beberapa mata pelajaran sulit seperti Matematika, Fisika, dan Kimia, teman-teman saya tidak bisa diharapkan. Menulis contekan rumus sih bisa, tapi biasanya malah bingung saat harus memasukkan angka. Maka saya tidak pernah menyontek untuk mata pelajaran yang sulit, terutama mata pelajaran yang melibatkan angka.

Saya tidak tahu kalau ternyata guru-guru SMU saya merestui muridnya untuk saling menyontek saat Ujian Nasional (UN). Barangkali mereka menyadari bahwa cukup banyak murid yang kompetensi belajarnya di bawah standar ketuntasan belajar sehingga akan kesulitan melewati UN dengan lancar. Sehingga murid yang dianggap pintar diharapkan membantu temannya yang dianggap “kurang” sewaktu UN. Guru Kimia saya yang terkenal sangar pun turut melakukan hal serupa. Hari itu ketika ulangan harian, Beliau berkeliling ke sudut-sudut kelas seperti biasa. Kemudian Beliau berdiri di samping saya sambil memperhatikan kertas ulangan yang sedang saya isi.

Dua menit berlalu, tiba-tiba si Pak Guru menyentuh lengan saya dengan siku kanannya sambil setengah berbisik, “Mel, kau tolonglah si M (inisial) waktu UN nanti…”

M adalah salah seorang teman sekelas saya. Dia juga duduk di deretan paling belakang, tepat di sebelah kiri saya. Nilai-nilainya di mata pelajaran Kimia memang tidak terlalu bagus, demikian pula mata pelajaran lainnya. Lebih parahnya lagi, M kerap ketiduran di kelas sewaktu guru menjelaskan pelajaran. Kalau dibangunkan atau tidak sengaja terbangun karena satu kelas menertawakannya, biasanya M akan misuh-misuh dan berdalih kalau dia tidak tidur. Dia bilang masih mendengarkan penjelasan guru dengan seksama. Tidak tidur tapi liurnya sudah mengalir membasahi meja.

Sebenarnya saya tipe murid yang iya-iya aja. Saya tidak mau berdebat dengan orang yang lebih tua, terutama guru. Para guru mengenal saya sebagai murid yang patuh dan tidak pernah berulah. Namun hari itu saya menjawab suruhan Pak Guru dengan kalimat yang mungkin mengejutkan, “Saya kan harus nolong diri saya sendiri dulu, Pak”. Saya lupa dengan jawaban Beliau setelah saya berkata demikian. Kalau mengingat jawaban itu, saya merasa itu “nggak saya banget” saat masih sekolah karena biasanya saya selalu mengiyakan perintah guru. Seiring bertambahnya usia, saya rasa jawaban itu sangat mencerminkan diri saya di masa kini.

Bagi saya, kita harus menolong diri sendiri dulu sebelum menolong orang lain. Diri sendiri harus bahagia dan “cukup” sebelum bergerak membantu orang. Cukup itu maksudnya bukan hanya cukup kaya, melainkan juga cukup lapang dada untuk menerima kekecewaan. Manusia itu sumbernya kekecewaan. Sudah dibantu semaksimal mungkin tapi tetap bisa mengecewakan bahkan melukai orang yang telah membantunya. Demikian pula halnya dengan saya, saya juga pasti sering mengecewakan orang lain yang sudah baik sama saya.

Prinsip hidup ini sering saya bagikan kepada orang-orang terdekat yang saya sayangi. Tolonglah diri sendiri dulu sebelum menolong orang lain. Sayangnya, prinsip tersebut membuat saya dianggap egois dan tidak peduli orang lain. Saya dianggap lupa dengan kodrat sebagai makhluk sosial.

“Kalau kita bisa nolong apa salahnya sih? kenapa perhitungan banget jadi orang.”

Anggapan kalau prinsip itu menyebalkan tidak menyurutkan niat saya untuk tetap berpegang teguh. Saya sering memperhatikan orang-orang terdekat saya yang baik sekali dan suka menolong orang. Ada yang menolong orang sepenuh hati tetapi akhirnya jasa-jasa besarnya itu terlupakan begitu saja. Jangankan diingat jasanya, disapa orang yang banyak menerima pertolongannya pun rasanya sudah tidak pernah. Akhirnya, perlahan-lahan sifatnya berubah, dari yang penuh perhatian dan gemar menolong orang menjadi cuek dan hidup di dunianya sendiri.

Ada satu lagi, Mama yang mempersilakan temannya mandi di rumah waktu aliran air PAM di kompleks sedang mati. Bukannya langsung mandi, teman si Mama mengajak dua orang kakak adiknya untuk ikut mandi. Mandi dan keramas sampai air toren habis seketika. Lalu Mama mulai menggerutu, tak menyangka kalau si teman akan menghabiskan banyak air karena mengajak kakak adiknya mandi di rumah saya. Lantas saya cuma nyengir sinis dan bilang, “Makanya, nolong diri sendiri dulu sebelum nolong orang lain. Air lagi susah malah nyuruh orang "berenang" di rumah.” Alhasil, jet pump untuk menarik air tanah harus dinyalakan karena persediaan air toren benar-benar kering.

Kalau kita tidak bisa baik sama orang lain, setidaknya jangan jahat. Memutuskan untuk tidak menolong orang lain itu nggak jahat-jahat amat kan?

Jangan sampai sesudah menolong malah ngebatin atau misuh-misuh dan menambah dosa pribadi. Hidup sudah susah. Kalau belum mampu, nggak usah berusaha jadi superhero demi menolong orang lain. Kamu harus baik sama semua orang, terutama kepada dirimu sendiri karena kamu juga orang. Tolonglah diri sendiri dulu agar senang hatimu.

No comments