Etika Mengirim dan Menerima Undangan Acara

Etika Mengirim dan Menerima Undangan Acara

Undangan adalah salah satu hal yang identik dengan kebahagiaan. Orang-orang yang lagi bikin hajatan pernikahan, ulang tahun, sunatan, atau syukuran lain biasanya mengirimkan undangan ke orang-orang terdekat seperti keluarga besar, tetangga, sahabat, rekan kerja, serta kerabat. Sayangnya, masih banyak orang yang nggak paham etika mengirim dan menerima undangan. Semoga tulisan saya yang nyeleneh berdasarkan pemahaman pribadi ini bisa membantu siapa pun yang akan mengirim dan menerima undangan acara apapun.

Silakan Mencantumkan Gelar Kalau Itu Bikin Kamu Bahagia

Masih ada segelintir khalayak ramai yang berpikir kalau orang kuliah itu cuma nyari gelar buat ditaro di undangan pernikahan nanti. Kalau kamu emang punya gelar dan mau mencantumkannya di undangan, nggak masalah kok. Lakukan aja sesuka hatimu. Orang lain kan nggak ngebayarin uang kuliah atau biaya nikahan kamu. Jadi, kamu memang bebas mencantumkan gelar pendidikanmu di undangan sebagai bentuk kebanggaan terhadap diri sendiri.

Siapa Sih yang “Turut Mengundang”?

Serius deh, dari kecil saya selalu bingung dengan konsep “Turut Mengundang” di undangan. Biasanya kan ada tuh kolom Turut Mengundang di bagian bawah undangan. Bahkan ada yang isinya banyak bener, bisa lebih dari 10 orang, mulai dari Pak RT, Pak RW, Brigadir X, Uztad Y, dan masih banyak lagi. Waktu saya tanya soal “Turut Mengundang” ke orang terdekat, katanya itu maksudnya orang-orang yang di kolom Turut Mengundang itu ikut ngundang tamu. Ya kali, saya aja nggak kenal sama orang-orang yang namanya ada di kolom itu.

Gini ya gaes, undangan acara itu memang wujud kebahagiaan yang ingin dibagikan kepada orang lain. Undangan bukan sarana untuk menunjukkan kalau kamu atau orang tuamu punya banyak kenalan hebat seperti polisi, ulama, atau pejabat. Jadi mendingan berhenti deh ngisi kolom “Turut Mengundang” dengan segambreng nama. Percaya deh, orang-orang yang nerima undangan nggak bakal peduli sama “Turut Mengundang”. Karena sejatinya hanya si orang yang punya hajat yang berhak mengundang orang lain ke acaranya.

Menulis Nama Orang yang Diundang dengan Benar

Cara menulis nama orang yang diundang juga penting lho. Menulis nama orang dengan benar adalah cara sederhana menghargai orang tersebut. Oh iya, kamu sebenernya nggak perlu ngotot cari tahu nama asli orang yang mau kamu undang kok. Misalnya, jarang di antara kita yang tahu nama asli tetangga, kita biasanya nyebut dengan nama anak seperti Mama Ika, Mama Bagas, atau Papa Dimas. Silakan aja menulis nama orang yang diundang dengan sebutannya asalkan nggak salah eja, ya.

Kalau kamu punya bujet dan waktu senggang, nama orang yang diundang sebaiknya diketik dan dicetak pada label putih supaya bisa ditempel di undangan. Usaha ini bakal bikin undangan kelihatan lebih rapi dan menarik daripada tulis tangan.

Satu Rumah Cukup Satu Undangan

Saya pernah punya pengalaman goblok saat dikirimi undangan oleh tetangga. Jadi ceritanya anak tetangga yang kurang lebih seumuran sama saya akan menikah. Saya nggak kenal secara pribadi sama anaknya, cuma kenal sama emak bapaknya karena tetangga. Anaknya si tetangga jarang gaul di lingkungan rumah.

Kemudian, ibu saya tiba-tiba dapet dua undangan dari si tetangga itu. Satu untuk ibu dan suaminya, satu lagi untuk “saya dan partner”. Kalo saya mikirnya sih satu undangan cukup untuk satu keluarga, ya. Apalagi orang yang menikah itu bukan temen akrab saya. Nggak perlu buang-buang undangan karena ngarepin lebih dari satu angpao (ups). Toh tetap aja ibu dan saya dateng barengan dengan satu angpao aja. So, kalau nulis undangan sebaiknya:

“Ibu X dan keluarga”

“Bapak A dan pasangan”

Buatlah Undangan yang Bermanfaat Bagi Si Penerima

Selama hidup, saya udah melihat berbagai jenis undangan, dari yang kertas biasa dan standar banget sampai yang mevvah luar biasa. Prinsip hidup saya sejauh ini masih sama, buatlah undangan yang bermanfaat bagi si penerima. Kalau bisa sih jangan cuma undangan yang dicetak di kertas, baik itu kertas yang tebal dan bagus maupun kertas murahan.

Saya pernah lihat undangan di beberapa daerah di Jawa Tengah yang cuma dicetak di kertas HVS lalu ditempel di kopi atau sabun colek sachet. Menurut saya undangan kayak gitu jauh lebih bermanfaat bagi si penerima karena kopi atau sabun coleknya nggak mungkin dibuang. Kalau kamu punya bujet lebih besar, kamu bisa nyetak undangan di kipas, tas spunbond, pouch, atau benda-benda lain yang bersifat custom sehingga undanganmu nggak dibuang orang setelah acara selesai. Selain bikin pemberian darimu lebih bermanfaat, poin ini juga penting untuk mengurangi jumlah sampah di lingkungan. Zero waste gitu deh.

Waktu Mengirim Undangan Juga Harus Tepat

Menurut saya, waktu terbaik untuk mengirim undangan adalah 2 minggu sebelum acara berlangsung. Jadi, si penerima undangan bisa mengatur waktu, menunda rencana lain, atau memprioritaskan undanganmu bila ingin hadir di acaramu. Jangan ngirim undangan seminggu atau beberapa hari sebelum acara karena kesannya terlalu mendadak. Jangan juga ngirim undangan 1 atau 2 bulan sebelum hari H karena bisa bikin orang keburu lupa dengan acaramu.

Undangan Online, Yay or Nay?

Sebagai orang yang agak konvensional, saya merasa undangan online itu kurang sopan. Emang sih desain undangan online sekarang tuh keren-keren, kreatif banget. Bisa dikasih musik, motion graphic, atau video. Kalau mau kirim undangan online, sebaiknya nggak di-broadcast sekaligus kali ya. Harus satu-satu supaya kesannya personal, persis seperti mengirim undangan fisik pada umumnya. Berkirim undangan online secara personal akan membuat orang yang menerima undangan merasa dihargai oleh si pengirim.

Jangan Ngebalikkin Undangan yang Udah Kamu Terima

Saya juga punya pengalaman aneh tentang undangan yang dibalikkin ke pengirimnya. Orang yang saya kenal itu, mengembalikan undangan yang dikirim oleh “musuhnya”. Menurut saya pribadi, perbuatan itu bener-bener nggak sopan, nggak masuk di akal. Saya yakin si pengirim undangan pasti merasa malu, kecewa, dan sakit hati.

Gini ya, orang mengundang kita ke acaranya itu pasti bermaksud baik, ingin berbagi kebahagiaan yang sedang dirasakannya. Mengirim undangan itu niat baik, tidak menghadiri undangan itu hak pribadi. Kamu bebas kok nggak menghadiri acara tersebut. Bahkan, kamu boleh langsung membuang undangannya ke tempat sampah kalau kamu bener-bener benci dengan pengirimnya. Tapi mengirim balik undangan ke penerima adalah salah satu perilaku yang sangat nggak masuk akal. Barangkali setan pun nggak akan melakukan hal kayak gitu saat menerima undangan dari orang yang dibencinya.

Nggak Perlu Bilang “Jangan Undang Saya”

Satu kelakuan lagi tentang undangan yang bikin saya nggak paham adalah orang-orang yang bilang “jangan undang saya”. Nah, saya nggak ngerti lagi sih sama orang yang ngomong kaya gitu, mungkin udah mati rasa dan nggak peduli perasaan orang lain, ya. Sekali lagi, mengundang itu niat baik kok. Siapa pun bebas mengundang orang-orang yang dikenalnya. Jika kamu memang nggak suka dengan acara atau orang yang punya hajat, kamu nggak perlu menghadiri undangannya. Diem ajalah, nggak usah komentar, nggak usah dateng. Itu jauh lebih baik dan bijak daripada menyakiti hati orang lain.

etika undangan acara pernikahan ulang tahun hajatan syukuran

Akhir kata, perilaku manusia zaman sekarang memang aneh-aneh, tanpa saya sadari mungkin saya juga begitu. Mudah-mudahan kita semua dijauhkan dari hal-hal menyebalkan yang berhubungan dengan undangan.

 

 

No comments