Apakah Kita Perlu Beragama Seserius Itu?

Apakah Kita Perlu Beragama Seserius Itu?

Suatu hari ketika membaca Quora, saya menemukan jawaban menarik dari salah seorang Quorans. Saya lupa pertanyaan persisnya. Intinya si Quorans menjelaskan kalau motivasinya dalam beragama adalah socially accepted.

Yes, socially accepted.

Sebuah frasa yang menarik dan sangat saya setujui.

Bisa dibilang saya pun begitu, beragama agar socially accepted.

Supaya nggak dikira kafir.

Agar nanti kalau mati udah jelas harus diurus dengan cara apa.

Mana yang Lebih Baik? Si Religius yang Fanatik atau Si Atheis yang Logis?

Jauh sebelum beragama, saya sudah sering melontarkan pertanyaan kepada diri sendiri ketika masih muda. Agama itu fungsinya apa kalau masih banyak penganutnya yang bertingkah lebih hina daripada binatang?

Bukankah banyak orang atheis yang bisa berpikir logis dan berbuat baik meskipun memilih hidup tanpa beragama?

Sejujurnya, sekarang saya lebih suka gaul sama hewan daripada sama kebanyakan manusia. Hewan tuh bisa lebih manusiawi daripada manusia. Memang sih masih ada manusia-manusia baik di hidup saya yang jumlahnya tidak seberapa. Dan saya sangat mensyukuri kehadiran orang-orang yang memilih tetap bersama saya setelah mengetahui segala kekurangan saya.

Less friend, less drama.

Manusia itu katanya makhluk paling sempurna yang bisa memuja Tuhannya dengan sebegitunya. Tapi kok sering kali nggak mampu menghargai dan mengingat kebaikan sesamanya?

Beribu kebaikan sesama akan hilang begitu saja ketika melakukan satu atau dua kesalahan. Merasa ada yang salah, si manusia pun bertingkah buas menyerang sesamanya. Wah, pokoknya random dan tidak bisa diantisipasi.

Banyak pengalaman buruk berkaitan dengan orang-orang religius yang saya rasakan. Awalnya saya terpesona melihat orang-orang yang mengamalkan ilmu agama sampai seserius itu. Semua terlihat sempurna, indah, agung, dan suci. Namun rupanya segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, termasuk agama. Orang yang mabuk agama lebih sulit disadarkan daripada orang yang mabuk alkohol. Lah gimana mau menyadarkan, menyentuhnya saja kita tak pantas karena kita amat hina dan berkalang dosa.

Satu Lagi: Si Paling Bener

Ada satu hal lagi yang bikin saya ilfil soal urusan beragama yaitu relasi zaman dulu dengan salah seorang mantan kenalan saya. Orangnya sangat religius sekaligus sok berintegritas. Bagi saya, dia berubah drastis dari orang baik menjadi si paling suci tak bercela. Si paling bener gitu deh ceritanya. Tadinya saya sangat terpesona dengan kebaikannya. The unsung hero.

Dulu saya sering kali mendapatkan kebaikan darinya. Namun akhirnya saya menyadari kalau integritas bisa berujung pada takabur, menganggap diri sendiri paling bener. Dia menganggap bahwa hal-hal di luar prinsip dan keyakinannya itu salah dan harus dibasmi. Karena sempat menghadapi kelakuannya itu, sekarang saya malah mulai memaklumi hal-hal yang disebut kejahatan. Setiap kejahatan pasti ada alasannya. Bahkan orang jahat pun struggling demi kehidupannya sendiri dan keluarganya.

Si paling bener selalu beranggapan kalau orang lain salah semua, dia sama keluarganya doang yang paling bener. Buat saya pribadi, dia membuktikan ke saya kalau banyak orang religius yang sama aja kelakuannya, walaupun nggak semuanya sama ya. Menjijikkan. Si paling suci karena orang lain berlumur dosa. Si pemegang kunci surga yang paling lurus jalan hidupnya. Saya sadar kalau terlalu religius dalam agama apapun itu nggak baik karena malah bikin diri sendiri merasa jadi si paling bener. Saya nggak pantas gaul sama si paling bener karena saya asalnya dari lembah kenistaan, gaes.

Saya sudah berjanji kepada diri sendiri agar tidak menggunakan kefasihan berbahasa saya untuk berdebat dengan si paling bener. Sebab dia adalah salah seorang yang mengajarkan kefasihan ini kepada saya semasa kecil. Umat Buddha mempercayai bahwa semua hubungan di dunia terjadi berdasarkan jodoh. Hmm jodoh maksudnya bukan hanya soal urusan asmara, tapi jalinan hubungan apapun seperti anak dan orang tua, saudara kandung, sahabat, rekan kerja, bahkan hewan peliharaan. Saya gemar menggunakan analogi perjodohan tersebut untuk menjelaskan hubungan saya dengan makhluk hidup lainnya. Jadi, saya menganggap jodoh saya dengan si paling bener ini sudah selesai dan tidak berlanjut lagi.

Dulu saya pernah jadi keset. Iya, keset yang buat bersihin kaki. Saya rela melakukan apapun agar si paling bener tetap ada dalam kehidupan saya. Untungnya saya cepat menyadari kalau hal seperti itu tidak baik bagi diri sendiri. Jangan pernah memohon kepada siapapun untuk tetap berada di hidup kita bila dia memang sudah tidak menginginkannya.

Namun untuk urusan misuh-misuh dan sindir-menyindir tentu saya lanjut terus. Sebab saya memang tipe orang yang tidak mudah lupa dengan perlakuan orang lain terhadap saya. Begitulah cara saya melampiaskan kebencian tanpa bercerita banyak hal kepada orang lain. 

Apakah Kita Perlu Beragama Seserius Itu?

Catatan ini saya tulis pada waktu dini hari, tanggal 15 April 2022 sewaktu mata belum bisa terpejam. Beberapa minggu belakangan ini saya cukup sibuk sampai hampir nggak sempet nyiapin materi blog. Tapi untungnya niat nyindir orang juga bisa dimanfaatin jadi satu konten blog.

 

2 comments

  1. Halo kak!
    Sindirannya ngena banget sih. Ada orang terdekatku yang jadi si paling benar itu. Dan benar dikasih fakta yang kontadiktif langsung disangkutin ke dosa. Udah nggak mempan mau dibantah gimana juga memang hanya dia yang paling lurus dan lainnya penuh dosa. Pusing sendiri aku dibuatnya, sekarang malah suka mendesak untuk ikut alirannya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal, Kak Navia.
      Rupanya si paling benar itu emang ada di mana-mana dan kita temuin sendiri di hidup kita, ya.
      Mudah-mudahan kita selalu dikasih kesabaran yang cukup untuk menghadapi orang-orang seperti itu dan semoga kita nantinya nggak jadi si paling benar.
      Semangat ya, Kak.
      Sayangi diri sendiri dan tetap berpikir logis.
      Terima kasih banyak udah mampir di blogku :)

      Delete