Saat Rasa Iba Mengalahkan Logika

Saat Rasa Iba Mengalahkan Logika

Beberapa waktu lalu saya sedang boncengan motor bersama Mama di depan toko material. Tiba-tiba ada seorang bapak yang usianya kira-kira separuh baya menghampiri kami. Perawakannya gemuk, berkumis tebal, dan berkulit sawo matang, cukup mudah dikenali asalnya dari suatu suku tertentu. Bapak itu mengendarai motor Beat Street yang terbilang masih baru. Si Bapak lantas memanggil Mama pelan sambil menunjuk-nunjuk spidometer motornya, “Bu, maaf ada sepuluh ribu buat bensin. Tolong, Bu. Bensin saya habis.”

Mama yang hatinya seluas samudra, setinggi langit, sedalam sumur, dan seramai KRL Manggarai pada jam kerja, tentu saja mudah iba. Beliau hampir menyerahkan uang sepuluh ribuan tapi saya langsung menawarkan ide lain.

“Ya udah, isiin bensin ecer aja, Ma. Itu di (jalanan) depan kan ada tukang bensin.”

Usai mendengar ide brilian tersebut, si Mama langsung setuju. Seperti ada bohlam yang menyala di atas kepalanya. Orang yang sedang kehabisan bensin motor sewajarnya langsung bahagia kalau ada yang berinisiatif membelikan bensin secara cuma-cuma. Namun, tidak demikian halnya dengan bapak-bapak berkumis tersebut. Wajahnya seketika berubah jadi berang kemudian berseru,

“Saya mau isi di pom!”

Lah si anjing, udah separo ngemis kok malah ngegas.

Akhirnya Mama menyadari kalau bapak sialan ini sedang berupaya menipunya. Setelah terdiam beberapa detik, Mama lantas menyalakan motornya dan pergi menuju ke tukang rujak langganan yang masih tetangga beda RT. Jaraknya tak sampai 20 meter dari lokasi pertemuan si bapak peminta duit bensin. Ada bapak ketua RT 03 pula yang sedang duduk santai di dekat tukang rujak sambil main HP.

Tak disangka-sangka ternyata si bapak masih ngikutin Mama sampai ke tukang rujak. Inilah poin ketololan si Bapak yang kedua selain ngegas saat mau dibeliin bensin. Katanya bensin habis, tapi begitu ditinggal si calon korban kok motornya masih nyala dan masih bisa ngejar. Mama yang sudah melihat bapak sialan menuju ke arahnya menyuruh saya untuk tidak menengok ke belakang. Pura-pura nggak tahu.

Saat sudah sampai tepat di samping motor Mama, bapak kampret itu ngomong lagi sambil setengah maksa, “ada nggak, Bu?”

Mama beringsut turun dari motor tanpa menjawab apa-apa. Saya juga mengunci motor, mencabut kunci, lalu melipir lebih dekat ke tukang rujak. Bapak tukang tipu merasa dicuekkin lalu pergi beberapa detik kemudian. Usut punya usut, tukang rujak bercerita kalau Bapak itu sudah tidak asing lagi di lingkungan tersebut. Kerjaannya memang menipu dengan modus minta uang sepuluh ribu untuk isi bensin. Korbannya sudah banyak, termasuk Bu RT 02. Bahkan, Bu RT 02 sempat ribut dengan si Bapak sebab si Bapak minta dua puluh ribu ketika dikasih sepuluh ribu. Alasannya harga bensin sudah naik. Sebuah alasan yang membuat Bu RT 02 pun naik pitam.

Hal serupa juga dialami teman Mama lainnya yang langsung dimintai sepuluh ribu sesaat setelah keluar dari minimarket. Setelah mendapatkan uang yang diinginkan, si Bapak langsung menyalakan motor dan pergi dengan cepat. Kala itu teman Mama langsung menyadari bahwa dirinya baru saja ditipu.

Nah, kan. Acapkali rasa iba dimanfaatkan orang-orang keparat untuk mengambil sesuatu dari orang lain. Mudah iba nyatanya tidak baik karena logika masih sangat dibutuhkan. Saya sih puas karena Mama tidak jadi memberikan sepuluh ribu kepada bapak tukang tipu. Itu salah satu prestasi saya sebagai orang pelit yang tidak gampang kasihan.

Pak RT 03 yang lagi asyik main HP tidak sadar kalau tetangganya lagi diincar penipu. Hingga pada akhirnya Pak RT tersebut mengeluarkan pernyataan yang bikin saya sangat setuju.

“Yah, coba tadi saya tau (kalau ada tukang tipu lagi deket-deket), Bu. Saya acungin batu aja sambil bilang, woy kerja anjing! (jangan nipu melulu)”

Saya rasa akan lebih masuk akal kalau sesekali si tukang tipu kumisan itu mengiyakan tawaran bensin ecer gratis dari korbannya. Jadi, bensin motor diisi setengah aja supaya bisa dapat tambahan bensin gratis. Kecurigaan orang akan berkurang dan bensin gratisnya nanti juga bisa disedot terus dijual lagi. Soal tipu-menipu sih rasanya ilmu si Bapak masih jauh lebih rendah daripada saya.

Jangan kau ular-ulari aku, Pak. Sebelum kau jadi ular, aku sudah ternak buaya.

 

No comments