Didikan “Cina Militer” ala Nenek

Riwayat genetik dari orang tua memang berperan besar dalam menentukan sifat seseorang. Namun, ada satu lagi yang tak kalah penting, yaitu lingkungan. Saudara kandung yang berasal dari sepasang orang tua yang sama bahkan bisa memiliki sifat jauh berbeda bila dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Mungkin inilah yang terjadi pada saya.
Sejak kecil sampai SMU kelas satu, saya tinggal berdua bersama nenek. Didikan militer rasanya belum sebanding dengan gaya “Cina militer” ala nenek. Hingga lebih dari sepuluh tahun sejak kepergiannya, saya tak bisa melupakan setiap didikannya yang kini ada tertanam pada diri saya.  

Makan nasi dingin.

Makan nasi dingin bukan hal yang hina. Walaupun cita rasa nasi yang tidak dihangatkan memang tidak lebih nikmat dibandingkan nasi yang tanak. Selama nasinya masih bagus dan tidak basi, saya diajarkan untuk selalu memakannya sampai habis. Tak ada alasan untuk membuang-buang nasi. Tak ada satu butir pun nasi yang boleh tertinggal di piring sehabis makan. Nenek selalu mengatakan kalau beras semakin mahal. Membuang-buang nasi sama artinya dengan membuang uang.

Jangan pilih-pilih makanan.

Nenek sering membuat daging babi masak kecap, kira-kira dua kali seminggu. Sebenarnya saya tidak terlalu suka menu tersebut. Rasanya membosankan dan lapisan lemak babinya sangat tebal. Padahal, saya tidak suka dengan olahan lemak hewan. Namun, saya tentu tak punya alasan untuk pilih-pilih makanan. Saya selalu makan masakan nenek tersebut. Tetapi, saya selalu memisahkan bagian lemaknya agar dapat dimakan nenek.
Bosan. Saya bosan dengan daging babi masak kecap. Bahkan ketika saya masuk sekolah di siang hari, menu itu juga saya bawa ke sekolah sebagai lauk nasi. Itulah yang membuat saya tidak pernah pilih-pilih makanan sampai hari ini. Meskipun selera saya tetap sama, tidak suka dengan olahan lemak hewan. Saking bosannya, sekarang saya tidak mau makan daging babi masak kecap lagi. Sudah cukup babi-babi itu mengisi masa kecil saya dua kali seminggu.

Selalu cermat ketika membeli sesuatu.

Sejak umur sembilan tahun, saya sudah disuruh belanja bahan makanan ke pasar oleh nenek. Salah satu hal yang paling tidak saya sukai yaitu ketika disuruh membeli ikan kembung. Saya tidak bisa membedakannya dengan ikan selar. Sampai akhirnya saya salah beli ikan beberapa kali. Nenek selalu menyuruh saya untuk membayar ikan yang salah beli dengan uang jajan saya sendiri. Padahal, ikannya tetap dimasak nenek. Kapok karena terus-menerus salah, saya pun tak pernah lupa bertanya tentang jenis ikan sebelum membelinya di pasar. Saya gak mau dong kalau uang jajan saya habis cuma karena harus membayar barang belanjaan yang salah beli. Kalau saya sedang malas bertanya dengan pedagangnya, biasanya saya akan pulang dan bilang,

“Mak, ikan kembungnya hari ini gak ada. Jadi gak beli lauk deh.”
*dasar cucu kurang ajar

Jangan malas jalan kaki.

Jarak dari rumah ke pasar cukup jauh untuk ukuran anak umur sembilan tahun. Namun, saya harus menempuhnya dengan berjalan kaki. Hal tersebut saya lakukan hampir setiap hari ketika saya masuk sekolah di siang hari. Nenek jarang berbelanja di tukang sayur. Karena harga sayurannya lebih mahal dan pilihannya terbatas. Jadi, nenek lebih sering mengandalkan saya untuk pergi ke pasar. Membeli daging, sayuran, dan aneka bumbu dapur bukanlah hal yang aneh bagi saya. Semua belanjaan yang berat itu harus dibawa dengan cara berjalan kaki pulang pergi pasar.

Belajar sendirian. Jangan mengandalkan orang lain.

Untuk urusan belajar, tentu saja saya tidak bisa bermanja-manja kepada nenek. Saya harus belajar sendiri. Apa pun jenis pelajarannya. Bila sedang kepepet, biasanya saya akan menanyakan soal PR ke koko tetangga di seberang rumah. Namun, lama-lama koko tetangga juga sibuk kuliah dan jarang ada di rumah. Saya pun akhirnya memutuskan untuk selalu belajar sendiri, baik pelajaran hafalan maupun hitung-hitungan. Pengalaman mendapatkan nilai dua untuk pelajaran menghitung akar dan pangkat bikin saya kapok. Rasanya ya malu aja gitu kalau teman-teman lainnya bisa dapat nilai bagus sedangkan saya malah bego sendiri.

Hidup itu harus hemat.

Saat kelas empat SD, uang jajan saya dijatah Rp 5.000 per minggu oleh nenek. Seriously, jatah uang jajan segitu tuh kayak butiran debu. Sementara teman saya yang orang tuanya berbisnis agen telur ayam diberi uang jajan Rp 10.000 per hari. Kadang-kadang saya merasa tidak adil. Saya yang tidak pernah terpental dari peringkat lima besar di kelas cuma diberi uang jajan sebesar itu. Sedangkan teman yang prestasinya jauh di bawah saya malah bisa asyik beli jajanan mahal setiap hari.
Tapi, hidup tak akan ada solusinya jika hanya mengeluh saja, kan?
Saya mulai giat mengumpulkan uang jajan. Jarang sekali menggunakannya untuk jajan saat sekolah. Saya sadar kalau ingin punya uang ratusan ribu, berarti saya harus menyisihkan jatah uang jajan secara ketat. Kebiasaan sederhana itu terbawa hingga saya dewasa. Sekarang, saya tahu susahnya mencari uang dan sulitnya membeli sesuatu yang kita inginkan. Saya ingin memiliki kondisi finansial yang stabil, stabil, dan stabil. Jauh lebih stabil daripada saya yang sedang membuat tulisan ini, hari ini.

Jadi orang jangan “mauan”.

Sejak kecil, saya dididik nenek untuk tidak menjadi orang yang “mauan”. Maksudnya, orang yang senang diberi sesuatu oleh orang lain, gemar meminta punya orang lain, sering berutang, atau ditraktir orang lain. Saya masih ingat kalau saya hanya mengucapkan terima kasih dan langsung kabur kalau ada teman nenek yang ingin membelikan jajanan untuk saya di kantin sekolah. Jika kita punya uang lebih, kita bisa membelinya sendiri. Namun bila tidak punya, kita tak perlu menginginkan milik orang lain.

Kebal makian dan pukulan.

Orang tua zaman now mungkin mendidik anaknya dengan penuh kasih sayang. Tanpa pukulan dan kata-kata kasar. Tetapi tidak demikian halnya dengan orang tua yang konvensional, termasuk nenek. Saya terbiasa dihajar sejak kecil. Dicubit, ditabok, diklepak, atau apa pun namanya. Kata-kata kasar juga bukan hal asing bila sedang melakukan kesalahan di rumah. Jadi, sekarang kayaknya saya punya kosakata tentang kata-kata kasar yang cukup lengkap. Warisan dari nenek yang hampir tidak pernah saya gunakan.
Namun, didikan yang satu itu bikin saya kebal menghadapi dunia luar. Dimarahi guru atau orang lain bukan hal aneh. Apalagi bila kita memang melakukan kesalahan. Itulah sebabnya dulu tak ada orang tua yang ngadu ke komnas perlindungan anak kalau anaknya ditempeleng guru. Malah orang tua akan ikut memukul kita di rumah. Karena kita dianggap nakal dan membantah guru saat belajar di sekolah.

Saya yang kalian lihat dan kenali saat ini adalah hasil didikan ala nenek. Saya punya banyak sekali kekurangan. Masa kecil saya tidak selalu happy dan cukup sulit dilalui. Namun, selalu ada hal baik yang bisa saya ambil dari pengalaman masa kecil. Bahwa hidup itu keras dan tak selalu berjalan sesuai keinginan kita. Butuh pribadi yang keras supaya bisa survive dan menang dalam kompetisi kehidupan. Terima kasih banyak, Mak.



 

No comments