Manusia Itu Sumbernya Kekecewaan

Manusia Itu Sumbernya Kekecewaan

Selamat pagi, Bu.

Apa kabar?

Semoga Ibu baik-baik saja.

Hari ini aku ingin sedikit flash back tentang hal yang tidak pernah kuceritakan kepada siapapun.

 

Ibu inget nggak tanggal 6 Januari 2015? pertama kali kita ketemu lagi setelah sekian tahun.

Hari itu aku berat hati meninggalkan Mama yang terkena serangan stroke beberapa hari menjelang tahun baru.

Menjelang tahun baru hingga 5 Januari, aku menemani Mama di ruang rawat inap, mengurus segala kebutuhannya, membersihkan seisi rumah. Badan dan pikiran sungguh lelah.

Aku hampir membatalkan janji pertemuan kita saat itu. Tapi Mama bilang dirinya sudah hampir sembuh dan aku diperbolehkan pergi karena sudah membuat janji sejak pertengahan Desember.

Aku pikir hari itu adalah salah satu momen paling bahagia dalam hidupku karena bisa bertemu ibu berdua lagi. Senang bisa mengobrol bersama Ibu dan melihat Ibu tertawa bersama rekan-rekan kerja yang lain.

Inget nggak, Bu?

Waktu itu Ibu makan roti yang kami bawakan lalu ditanya Bu B;

“Ibu makan roti rasa apa tuh?”

“Keju”

“Kok ada ijo-ijonya?”

“Eh, kacang ijo kali”

 

Melihat hal receh seperti itu sudah bikin aku bahagia. Bikin aku sejenak melupakan rasa lelah dan kecemasan pada hari-hari sebelumnya.

Dan sejak saat itu aku sempat bahagia beberapa tahun karena punya tiga ibu sekaligus.

Aku tidak punya banyak saudara, Bu.

Aku manusia soliter.

Makanya aku bahagia memiliki ibu berdua, seperti ibu kandungku sendiri.

Andaikan ada mesin waktu, aku akan kembali ke masa lalu dan melarang diriku sendiri untuk pergi menemui Ibu serta kawan-kawan pada hari itu.

Sehingga kita tidak perlu sedekat kemarin-kemarin.

Supaya hari ini aku tidak sesakit ini, Bu.

 

Dulu aku bisa begitu ringan melangkahkan kaki demi bertemu Ibu, menempuh jarak puluhan kilometer hanya demi ngobrol sebentar dengan Ibu.

Tapi sekarang aku begitu penuh perhitungan.

Enggan menempuh perjalanan jauh hanya demi menyakiti diriku sendiri.

Dulu aku begitu berharga buat Ibu,

tapi sekarang sekadar menyapaku pun Ibu tak sudi.

Apakah aku memang sejahat itu sama Ibu?

 

Manusia itu sumbernya kekecewaan.

Jadi, pasti banyak perbuatanku yang sudah mengecewakan Ibu.

Namun, satu yang harus Ibu tahu.

Aku tidak pernah meninggalkan Ibu, justru Ibu yang meninggalkan aku.

Ibu yang membalikkan badan dan melangkahkan kaki meninggalkan aku.

Lalu Ibu bilang “manusia bisa berubah”.

Ada satu ungkapan yang membuatku tersadar:

Jangan pernah mengemis untuk sebuah pertemanan atau hubungan dengan siapa pun.

Jika kamu tidak menerima usaha yang sama seperti yang kamu berikan,

lepaskan mereka.

Oleh sebab itu aku berusaha tidak lagi menyapa setiap pagi, tidak lagi berkunjung, tidak lagi menceritakan hari-hariku, tidak lagi menunggu Ibu membutuhkan bantuanku. Karena aku tahu usaha itu sia-sia dan hanya membuatku menjadi manusia dungu yang haus kasih sayang.

 

Terima kasih untuk rasa sakit ini.

Rasa sakit yang membuatku sadar kalau aku memang tidak perlu menceritakan apapun kepada manusia mana pun.

Berbagi cerita hanya membuatku lemah kemudian ditinggalkan manusia yang kusayangi.

Aku ingin jadi orang jahat agar hidup bahagia lebih lama.

Tak akan lagi aku berpihak pada kebaikan yang rapuh dan cuma bisa menyakiti.

Kebaikan itu ibarat melukis di pasir.

Semegah apapun aku membentuknya, keindahannya akan hilang seketika tersapu ombak lautan.

 

Selamat beraktivitas, Bu.

Semoga berbahagia dengan sahabat-sahabat baru Ibu yang sangat baik, rendah hati, penuh cahaya kasih, suci, berbudi luhur, bijaksana, adil, religius, setia menggaungkan kebenaran, membawa ketenangan, penuh kepedulian, satu visi misi, cerdas, berakhlak mulia, tak bercela, dan selalu membawa kebahagiaan buat Ibu.

 

No comments