Aksi Kamisan dari Sudut Pandang Si Bangsat

Aksi Kamisan dari Sudut Pandang Si Bangsat

Tulisan ini saya beri judul demikian karena isinya pendapat pribadi yang bertentangan dengan mayoritas pandangan orang mengenai aksi Kamisan. Kemungkinan besar banyak orang menganggap saya bangsat dan tidak punya empati setelah membacanya. Sebelum saya menulis opini seputar Kamisan, tentu saya sudah mencari tahu terlebih dahulu seputar aksi tersebut untuk memahami esensinya.

Sekilas tentang Aksi Kamisan

Kamisan digelar sejak 18 Januari 2007 setiap hari Kamis jam 4 hingga 5 sore di depan Istana Negara, Jakarta. Sekelompok orang yang menjadi partisipan aksi tersebut menggunakan payung hitam serta membawa sejumlah tulisan atau gambar sebagai bentuk protes. Tujuannya adalah menuntut negara menuntaskan berbagai pelanggaran HAM berat di Indonesia, antara lain Tragedi Mei 1998, Tragedi Semanggi, Peristiwa Tanjung Priok, dan lainnya.  

Mayoritas orang merasa iba sekaligus kagum melihat perjuangan para penggerak Kamisan selama bertahun-tahun. Salah satu kisah yang dianggap paling menyentuh adalah peristiwa orang tua kehilangan anak dalam peristiwa reformasi 1998. Sang anak yang kala itu berstatus mahasiswa diduga kuat menjadi korban penembakan oknum hingga mengenai jantung kemudian meninggal dunia. Selain kisah itu, ada beberapa kisah lainnya yang tak kalah menyayat hati.

OK, sampai di situ dulu penjelasan sekilas tentang Kamisan. Beberapa tahun berselang pasca kejadian, para keluarga korban pelanggaran HAM menganggap bahwa kasus tersebut harus terus diusut supaya pelakunya ditemukan dan dihukum. Wajar bangetlah kalau banyak yang berempati sebab nyawa-nyawa tak berdosa menjadi tumbal situasi yang carut-marut kala itu.

Saya paham kok Kamisan mengusung cita-cita mulia untuk menegakkan HAM di negeri tercinta. Sayangnya, gerakan Kamisan malah dimanfaatkan sebagai tunggangan politik setiap lima tahun sekali. Tak sedikit pihak yang sengaja memanfaatkan aksi Kamisan untuk menyerang pemerintah dari sisi pelanggaran HAM. Alhasil, ada secercah harapan bagi para partisipan aksi Kamisan untuk mendapatkan titik terang kasus yang selama ini seakan terombang-ambing. Padahal, menurut saya harapan itu sih nggak pernah ada karena pihak-pihak yang menunggangi Kamisan hanya ingin memuluskan niatnya sendiri.

Sepakat dengan Komentar Segelintir Warganet

Ada beberapa komentar pedas warganet di media sosial terkait aksi Kamisan yang semakin menyudutkan pemerintah, terutama Presiden RI dan pihak terduga pelaku pelanggaran HAM. Saya pun setuju dengan komentar-komentar tersebut. Para peserta aksi Kamisan tak lebih dari sekadar barisan sakit hati yang menyimpan dendam berpuluh-puluh tahun. Bukannya saya mendukung pelanggaran HAM yang terjadi di era reformasi, tapi coba deh kita ngaca lagi.

Kita ini siapa? Cuma rakyat jelata, kan?

Nggak ada sejarahnya rakyat jelata yang miskin uang dan miskin kuasa ini menang melawan para petinggi negara. Mau teriak-teriak demo sampai pita suara putus juga hasilnya pasti nihil. Bukankah lebih baik memanfaatkan sisa hidup untuk melakukan banyak hal yang lebih baik?

Buat apa buang-buang waktu satu jam setiap minggu untuk sebuah gerakan yang tidak pernah ada solusinya?

Mencari Keadilan atau Memberi Makan Ego?

Kalau saya jadi anaknya para orang tua peserta aksi Kamisan sih saya bakal marah banget sama mereka. Maksudnya, saya sebagai anak yang masih hidup akan selalu mempertanyakan sikap orang tua saya.

Apakah orang yang sudah mati itu jauh lebih berharga daripada anak-anak atau anggota keluarga lain yang masih hidup?

Apakah pengusutan kasus yang diharapkan bakal bikin dia hidup lagi, Pak, Bu?

Andaikan saya punya mesin waktu dan bisa ketemu para korban yang masih hidup di zaman dulu, saya mau nampol palanya kenceng-kenceng.

“Eh, goblok. Nggak usah sok jadi pahlawan kesiangan, kita ini rakyat kecil doang. Gaya elu ini bikin emak bapak lu gagal move on gara-gara idup elu dikelarin sama oknum.”

Hidup tuh emang selucu itu, ya. Dulu pas orangnya masih hidup malah dibiarin gitu aja beraktivitas di lokasi konflik. Itu kan namanya nantangin maut. Giliran udah mati baru deh ditangisin puluhan tahun, dicariin keadilan katanya. Manusia-manusia yang masih hidup di sekelilingnya nggak terlalu dihargai karena yang ada di otak cuma soal mengadili sesuatu yang tak jelas rimbanya.

Jadi, sesungguhnya mencari keadilan atau memberi makan ego dalam diri sendiri?

Sudah jadi rahasia umum kalau hukum itu sering kali bisa dibeli meskipun masih ada juga penegak hukum yang jujur. Di sisi lain, nggak sedikit lo WNI keturunan etnis Tionghoa yang jadi korban penjarahan, perkosaan, dan pembunuhan di era reformasi. Namun, setahu saya nggak ada satu pun dari mereka yang berkoar-koar mencari keadilan.

Karena apa? Ya karena adil itu relatif tapi move on itu wajib.

Jalanin aja momen kehidupan berikutnya sebaik-baiknya. Bukan berarti melupakan orang-orang terdekat yang jadi korban jiwa dalam peristiwa mengenaskan berskala nasional. Ikhlas itu bohong. Yang ada hanya terpaksa, lalu lama-lama terbiasa.

Kembali lagi ke poin awal, tulisan ini sekadar opini pribadi aja. Nggak perlu dijadiin bahan perdebatan karena semua orang pasti punya pandangan dan alasannya masing-masing. Barangkali emang pengalaman hidup pribadi aja yang bikin saya jadi tuna empati. Jadi, mau Kamisan, Jumatan, Malem Mingguan, atau hari-hari lainnya yang terserah aja, kan nggak bikin saya rugi.

 

No comments